Lihat ke Halaman Asli

Kau Tega Menghina Cintaku

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini  perutku sangat sakit mungkin karena mag akut yang telah aku derita sejak lama. Tapi aku tak akan berbaring begitu saja dikasur yang bagiku sudah sangat empuk ini. Hari ini tetap aku harus pergi ke rumah rumah tetangga untuk aku tawari jasaku  menjadi pembantunya sehari, jika tidak makan apa aku dan kamu, anakku.

Aku pastikan aku akan menolakmu jika kau tawarkan dirimu ikut bersamaku untuk bekerja, pasti aku akan katakan, “sudah, biar simbok yang kerja kamu sekolah saja. Yang pinter biar nanti kamu bisa kaya ndak kaya simbok ini.” Tapi bukankah kau juga tak pernah menawarkannya, tak masalah bagiku anakku. Aku bekerja dan kau bersekolah. Tapi masalahnya itu cerita dulu. Sekarang, kau sudah berumur 25 tahun dan aku 50 tahun. Aku sudah sering sakit sakitan bahkan terkadang untuk berdiri saja aku tak mampu, tapi kau..kau justru selalu pulang malam bersama lelaki yang terkadang muda terkadang tua. Jika aku tegur, kau selalu memakiku. Kau selalu mengatakan “sudah jangan kau menegur dan menasehatiku terus dengan modal omonganmu itu, tua Bangka. Jika aku tak bekerja seperti ini kau tak akan makan enak sekarang, kau tak akan hidup susah. Sudah bersyukur aku mau membawamu ke rumah mewahku ini. Tidak di kampung kita yang kotor dengan orang orang yang dekil pula!”. Hatiku sakit saat kau berkata seperti itu, dosa apa aku hingga engkau berubah seperti ini. Sudah ku ajari kau berwudu, sudah ku ajari kau caranya mengerjakan kewajiban kita sebagai seorang muslimah, sudah ku ajari kau mengaji setiap lekas sholat maghrib, sudah ku ajari pula kau sopan santun, semua itu kau terima dariku 18 tahun yang lalu saat umurmu sekitar  7 tahun. Dan kau, kau menghapus semua pelajaran itu dari otakmu dan hatimu wahai anakku. Bagaimana aku menanggung dosaku saat aku menghadap sang kuasa..pasti aku dituduh tidak pernah mengajarimu ibadah, nak.

Hingga suatu hari kau pulang kerumah tengah malam seperti biasa kau pulang bersama lelaki tak jelas yang kau bawa dari hotel. Hingga aku tak kuasa menahan amarahku selama ini.. “antara aku dan bapakmu yang telah tiada karena dulu ia mencoba menyelamatkanmu saat kau hampir saja tertabrak mobil yang melintas sangat cepat dan antara cinta kami, aku lahirkan kau ke dunia yang keras ini, Ku lahirkan kau dengan segenap rasa cintaku, ku lahirkan kau dengan taruhan nyawaku sendiri dengan rasa sakit yang tak bisa ku dibeli dengan uang. Hingga kau lahir sempurna dengan darah yang masih membalut tubuhmu lalu ku cium kening,pipi,dan bibir mungilmu dan kuelus tangan dan kakimu lembut. Hingga kau mulai tumbuh besar  dan aku pun mulai mengajarkanmu segala sesuatu yang mungkin kau butuhkan untuk hidup dan matimu. Ku ajarkan kau sholat. Ku ajarkan kau mengaji  ayat ayat al quran.  Tapi dimana semua pelajaran itu nak ! apa kau membuangnya ke dasar tumpukan sampah ! hina sekali kau nak ! untuk apa aku lahirkan kau jika kau sekarang justru seperti ini ! bagaimana jika aku mati dan kau belum bertaubat dan kembali pada ajaran yang benar !” kataku berselimut marah, niatku hanya satu ..membuatmu tersadar bahwa duniamu sekarang adalah neraka bagimu. Tapi justru kau meninggalkanku dan melangkah ringan masuk kedalam rumah bersama lelaki seumuranmu itu..aku pun dengan terpaksa memegang tanganmu dan menampar pipimu..sekali lagi itu aku lakukan dengan sangat terpaksa dan berat hati, nak…lalu kau mengatakan satu kalimat yang membuat degub jantungku mulai melemah “jika kau tidak senang melihat anakmu bahagia sperti ini mengapa pula kau mesti mau melahirkanku dulu, tua Bangka ! aku tak pernah merasa bahagia bila bersama denganmu ! kau selalu dan selalu membuatku marah dengan segala omong kosong nasehatmu ! dari dulu aku tak pernah sudi memiliki seorang ibu yang dilahirkan kere, dan selalu membuat hidupku juga susah ! kau tau dulu sewaktu aku kau sekolahkan sampai smp. Aku selalu dicacimaki oleh teman disekolahku karena memiliki ibu seorang pembantu yang kadang ada disalah satu rumah mereka ! aku malu ! aku malu ! dan jika kau bicara soal cinta, aku pastikan cintamu tak lebih besar dari cinta seorang ibu yang yang kaya ! cintamu kecil, karena kau kere ! dan rasa sakit, kau bilang tak bisa dibeli dengan uang ? hahaha..kata siapa kau tua Bangka ! kau mau uang berapa banyak ! ah, untuk rasa cinta dan rasa sakit seorang janda yang jelek dan kere sepertimu mungkin uang  sejuta cukup ! uang itu sangat banyak kan ? coba kau bandingkan dengan upahmu sebagai pembantu sehari , paling banyak kau hanya dapat duapuluhlimaribu !”   itu katamu dengan melempar uang limapuluhribuan sebanyak lembar kearah wajahku….tapi kau tau nak, saat itu yang kubutuhkan adalah penyesalanmu terhadap penciptamu bukan lembaran uang yang berani kau lempar untuk membeli rasa sakit apalagi cintaku.

Rasa sakit saat itu tak kurasakan lagi anakku, karena saat itulah nafas yang selama ini menemaniku bersamamu kucoba hembuskan untuk terakhir kalinya, ingin aku mencoba menghembuskan nafas yang kedua bahkan yang ketiga hanya agar aku bisa mengatakan satu kalimat bahwa semangat yang membuatku terus berdiri adalah anakku satu satunya yaitu kau. Tapi mungkin Tuhan berkehendak lain anakku, semoga saja kau sadar  dan segera kau tobatkan dirimu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline