Lihat ke Halaman Asli

Dwi Wahyu Intani

Freelancer - content writer

Optimisme Kurikulum Merdeka Melahirkan Generasi Emas yang Berakhlakul Karimah

Diperbarui: 29 Maret 2023   22:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merdeka belajar (pexels.com/Emily Ranquist) https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-orang-lulus-1205651/ 


September 2015, adalah saat-saat paling membahagiakan selama perjalanan pendidikan saya. "Akhirnya lulus kuliah juga!!!", jerit batin yang terdengar sangat nyaring.


Bagaimana saya tidak bahagia, jika setelah Iulus saya tak perlu lagi begadang untuk mengerjakan laporan-laporan praktikum, menyiapkan tugas-tugas kuliah dan presentasi, bahkan menamatkan hafalan materi-materi pelajaran dari awal hingga akhir pertemuan kelas semalaman suntuk menjelang ujian. Maklum, belajar dengan sistem kebut semalam tak ubahnya menjadi kebiasaan yang tak bisa dihindari.


Perayaan kelulusan ini seolah memberi rasa lega yang tak terbendung. Di waktu bersamaan, saya juga baru menyadari adanya perasaan lelah yang teramat sangat. Bukan, saya tidak lelah untuk menuntut atau mencari ilmu. Hanya saja, merasa kurang pas dengan sistem pendidikan  kala itu.


Kalau boleh diringkas, pengalaman belajar yang saya peroleh di sekolah tak jauh dari menghafal dan menyalin. Pendekatan untuk kreativitas, berpikir kritis, pola pikir mandiri, bahkan terkait pembentukan karakter rasanya sangat minim.


Setiap hari datang masuk kelas, duduk menerima materi, kemudian pulang dengan entah apa yang telah dipelajari (beberapa anak mungkin sudah paham dengan pelajaran hari ini, beberapa lain mungkin seperti saya, hehe). Saat ada tugas, sibuk kesana kemari mencari 'bala bantuan'. "Yang penting selesai, yang penting ngumpulin", secara tak sengaja menjadi prinsip hidup yang kental di masa-masa sekolah.


Bagaimana saat ujian? Saya sibuk merapal semua materi-materi dari awal hingga akhir, mirip mbah dukun baca mantra. Tentu saja, ini bukanlah cara belajar yang efektif, namun cukup membantu mengisi kekosongan materi di kepala saya.


Jika menengok lebih jauh ke masa-masa SD, SMP, SMA, cara belajar ini juga tak jauh berbeda. Apalagi menjelang ujian nasional, kebut 3 malam untuk 3 tahun.


Hmm, lagi-lagi saya merasa pembelajaran yang saya terima terlalu teoritis dan cukup jauh dari kebutuhan dunia nyata, apalagi di era yang semakin modern ini. Sistem belajar-mengajar tak ubahnya cara klasik yang disampaikan secara searah, silabus menjadi patokan utama pembelajaran tanpa menengok kebutuhan siswa secara utuh, hingga tuntutan-tuntutan belajar yang hanya mengacu pada angka bukan kompetensi secara nyata.


Masa-masa setelah lulus kuliah


Masa-masa bahagia itu saya nikmati dengan membuat dan mengirimkan banyak sekali surat Iamaran kerja ke berbagai instansi. Berharap segera mendapatkan pekerjaan yang bagus sesuai harapan setelah lulus dari kampus yang bergengsi.


Namun nyatanya, tak semudah itu. Melamar kerja bagi freshgraduate ternyata sangat menantang.  Pengalaman adalah salah satu batu sandungan yang kerap kali menjadi alasan. Sementara saat itu, magang (beberapa bulan) adalah satu-satunya pengalaman kerja yang paling bisa diandalkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline