Di era digital yang berkembang pesat, Generasi Z yang mencakup individu kelahiran antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an menghadapi tekanan luar biasa dalam membangun identitas sosial dan emosional. Media sosial menjadi ruang utama di mana mereka mencari pengakuan, tetapi sering kali media ini justru menciptakan pengalaman alienasi dan kesepian. Pengalaman ini mencerminkan fenomena "krisis pengakuan", yang tidak hanya melibatkan relasi interpersonal tetapi juga menyentuh dimensi moral, sosial, dan eksistensial. Pemikiran filsuf Axel Honneth, khususnya pada teori The Struggle for Recognition (1995), yang menjadi landasan yang relevan untuk memahami dinamika ini. Menurut Honneth, manusia membutuhkan bentuk pengakuan secara emosional, sosial, dan hukum untuk mewujudkan pengembangan identitas yang sehat. Dalam konteks Generasi Z, krisis pengakuan ini tampak jelas melalui bagaimana cinta, hak, dan solidaritas dipengaruhi oleh transformasi sosial digital.
Pengakuan sebagai Fondasi Identitas: Perspektif Axel Honneth
Teori The Struggle for Recognition dari Axel Honneth menjadi dasar filsafat yang kuat untuk memahami hubungan antara pengakuan dan pembentukan identitas manusia. Menurut Honneth, terdapat tiga bentuk pengakuan utama yang menopang perkembangan individu: cinta (pengakuan emosional dalam hubungan intim), hak (pengakuan formal terhadap individu sebagai subjek hukum), dan solidaritas (pengakuan sosial dalam komunitas yang lebih besar). Ketiga bentuk ini, menurut Honneth, saling melengkapi dalam menciptakan kondisi moral yang memungkinkan individu untuk mengembangkan identitas positif dan bermakna. Bagi Generasi Z, nilai dari ketiga bentuk pengakuan tersebut diuji secara intensif oleh era digital. Hubungan cinta, solidaritas, dan penghormatan terhadap hak sering kali bertransformasi menjadi hubungan yang lebih transaksional dan superfisial di media sosial. Akibatnya, krisis pengakuan muncul ketika individu tidak mampu memenuhi harapan pengakuan atau ketika pengakuan yang diterima bersifat dangkal dan tidak autentik. Dalam hal ini, Honneth mencatat bahwa kurangnya pengakuan yang tulus dapat berujung pada pengasingan diri (self-alienation), di mana individu kehilangan koneksi dengan diri sendiri maupun orang lain. Fenomena teralienasi inilah yang menjadi cerminan problem generasi digital saat ini, khususnya dalam konteks hubungan cinta dan pengalaman kesepian.
Cinta dan Alienasi: Pergulatan Generasi Z di Era Digital
Cinta, seperti yang dijelaskan oleh Honneth, adalah bentuk pengakuan yang bersifat emosional dan mendalam. Cinta memberikan individu rasa diterima secara penuh oleh orang lain, memungkinkan mereka untuk merasa aman dan bernilai di dalam relasi interpersonal. Dalam Generasi Z, cinta menjadi salah satu bentuk utama pengakuan yang mereka cari, baik dalam hubungan keluarga, persahabatan, maupun relasi romantis. Namun, dalam konteks digital, cinta sering kali mengalami distorsi. Penelitian menemukan bahwa hubungan yang terbentuk dan dikelola melalui media sosial cenderung superfisial, dibangun di atas penampilan dan performa sosial. Generasi Z sering kali memanifestasikan cinta melalui validasi eksternal, seperti jumlah "like" atau komentar di platform digital. Hasilnya adalah pengakuan emosional yang dangkal, yang tidak mampu memenuhi kebutuhan autentik mereka untuk hubungan yang mendalam. Salah satu konsekuensi dari hubungan cinta yang dangkal ini adalah meningkatnya pengalaman ghosting dan cyberbullying di kalangan Generasi Z. Kedua fenomena tersebut berkontribusi pada krisis pengakuan, di mana individu merasa ditolak atau diabaikan secara emosional. Dengan demikian, cinta yang seharusnya menjadi pengakuan tulus beralih menjadi pengalaman alienasi, menciptakan perasaan isolasi dan kesepian yang mendalam.
Hak dan Identitas Sosial: Tantangan dalam Masyarakat Digital
Generasi Z, sebagai generasi paling terhubung secara digital, sangat sadar akan isu hak asasi manusia, kesetaraan, dan keadilan sosial. Isu ini erat kaitannya dengan bentuk pengakuan kedua Honneth, yakni pengakuan melalui hak. Hak tidak hanya berarti pengakuan terhadap individu sebagai subjek hukum, tetapi juga penerimaan mereka sebagai anggota masyarakat yang setara. Namun, di era digital, perjuangan untuk hak sering kali bercampur dengan tantangan identitas sosial. Di satu sisi, media sosial telah menjadi platform di mana Generasi Z dapat menyuarakan aspirasi mereka dan memperjuangkan hak-hak bagi kelompok yang rentan. Gerakan seperti Black Lives Matter dan kampanye untuk hak LGBTQ+ menjadi contoh nyata bagaimana kesadaran akan hak dapat memperkuat solidaritas sosial. Generasi Z juga menggunakan platform digital untuk memperjuangkan penerimaan atas milenialitas identitas mereka. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi arena di mana pelanggaran hak dan diskriminasi sering terjadi. Lewat fitur anonimitas, perlakuan diskriminatif seperti rasisme, homofobia, dan ujaran kebencian semakin meluas. Pengalaman ini menantang stabilitas identitas sosial Generasi Z, menciptakan rasa terasing dan ketidakadilan yang mendalam. Dalam perspektif Honneth, pelanggaran ini mencerminkan kegagalan pengakuan formal, di mana hak-hak individu diabaikan, sehingga menghambat perkembangan identitas mereka.
Solidaritas dan Koneksi: Pembentukan Komunitas di Era Digital
Solidaritas adalah bentuk pengakuan ketiga dalam teori Honneth, yang mengacu pada rasa keterhubungan individu dalam konteks komunitas sosial yang lebih besar. Solidaritas memungkinkan individu merasa dihargai karena kontribusi unik mereka dalam suatu kelompok. Dalam budaya Generasi Z, solidaritas banyak dimanifestasikan melalui komunitas daring, di mana mereka mencari pengakuan dari orang-orang yang berbagi nilai atau minat serupa. Namun, solidaritas di era digital bersifat ambivalen. Di satu sisi, komunitas daring menawarkan ruang inklusif di mana individu dapat merasa diterima tanpa memandang perbedaan identitas. Misalnya, platform seperti Reddit atau Discord sering menjadi tempat Generasi Z membangun dukungan timbal balik dengan anggota komunitas yang berpikiran serupa. Di sisi lain, solidaritas dalam komunitas daring dapat menjadi semu dan terpolarisasi. Penelitian menunjukkan bahwa Generasi Z sering merasa terasing ketika komunitas daring yang mereka ikuti gagal memenuhi harapan atau ketika pengalaman mereka ditanggapi dengan serangan verbal. Tanpa pengakuan yang tulus, solidaritas ini tidak memberikan landasan sosial yang kokoh untuk mengatasi krisis identitas.
Kesepian di Tengah Koneksi Digital: Paradoks Media Sosial
Media sosial sering disebut sebagai alat untuk menghubungkan manusia, tetapi penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan justru meningkatkan perasaan kesepian dan keterasingan. Pada penelitian Twenge (2017) menyebut ini sebagai "paradoks media sosial", di mana individu yang terhubung secara digital sering merasa semakin tidak terhubung secara emosional. Generasi Z sangat rentan terhadap paradoks ini. Meskipun mereka memiliki banyak koneksi daring, interaksi yang terjadi sering kali bersifat transaksional, mementingkan performa sosial daripada hubungan mendalam. Hal ini sesuai dengan pandangan Honneth bahwa pengakuan palsu dapat menghasilkan self-alienation, di mana seseorang merasa terputus dari kebutuhan otentiknya untuk koneksi emosional. Kesepian yang dialami Generasi Z tidak hanya merupakan dampak dari kurangnya hubungan tatap muka, tetapi juga hasil dari ekspektasi sosial yang tidak realistis di media sosial. Generasi ini kerap merasa perlu untuk memenuhi standar kecantikan, kesuksesan, atau popularitas yang tidak realistis, mengejar pengakuan eksternal yang tidak pernah cukup.