Lihat ke Halaman Asli

Pegadaian dalam Pandangan Maqasid Al Syariah

Diperbarui: 15 April 2023   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gadai (Rahn) secara etimologi, berarti tsubut (tetap) dan dawam (abadi, terus-menerus). Sedangkan secara terminologi adalah harta benda digunakan sebagai jaminan utang, agar membayar kembali (mengembalikan) hutang atau membayar hargan jika tidak dapat mengembalikannya. Dan dapat dipahami bahwa gadai (Rahn) adalah suatu kegiatan dimana sebagian harta milik peminjam disimpan sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.

Gadai merupakan salah satu bentuk atau cara manusia untuk membantu dan mempermudah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagai transaksi dalam Syari’a Islam, gadai mempunyai dasar hukum yang menyatakan kebolehannya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, hadis dan ijma’.

Pada dasarnya, barang jaminan atau objek gadai tidak boleh diambil manfaatnya, pemilik barang (rahin) atau pihak penerima gadai (murtahin) tidak diperkenankan menggunakan barang yang dijaminkan atau yang digadaikan kecuali dengan persetujuan dengan kedua belah pihak. Para ulama fikih berpendapat bahwa barang yang dijadikan gadai tidak boleh tidak diproduksi sama sekali, karena perbuatan ini termasuk pemborosan harta.  

Penggunaan barang gadai dalam maqasid syariah dijelaskan dalam fatwa DSN MUI No.: 25/DSN-MUI/2002 tentang rahn menjelaskan: “Marhun (barang gadai) dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin (pihak penggadai). Murtahin (penerima gadai ) hanya diperbolehkan menggunakan marhun (barang gadai) dengan izin rahin (pihak penggadai) tanap mengurangi nilai marhun dan penggunaannya hanya mengganti kerugian biaya perawatan dan pemeliharaan. Murtahin berhak menahan marhun sampai semua hutang rahin lunasi. Ketentuan hukumnya sesuai dengan hadis Muhammad SAW: Hadits yang diriwayatkan oleh al-Syafi’I, al-Daraquthnu dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Hal ini sesuai dengan penetapan maqasid disyariatkannya rahn yaitu sebagai istisyaq (sebagai jaminan utang), karena rahin dan murtahin tidak dapat menggunakannya sebagai jaminan.  

Saat ini, Lembaga Pegadaian Syariah tersebut belum menyentuh sisi maqasid syariahnya yaitu tujuan awal disyariatkannya akad al-rahn untuk transaksi sosial (menolong orang lain), sehingga masalah kesenjangan sosial yang ingin dikikis melalui transaksi ini belum tersentuh bahkan menyimpang. Semua itu merupakan pekerjaan rumah dan keniscayaan bagi para eksekutif dan legislatif dalam tujuan bersama mewujudkan cita-cita masyarakat yang ideal dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline