Intan cahyaningrum (222111197)/ HES 5E
Guna memenuhi tugas dalam matakuliah Sosiologi Hukum yang diampu oleh Bapak Julijanto, S.Ag., M.Ag
- Kasus Hukum
Sebagai contoh kasus dalam hukum Indonesia di mana ketika tinjauan yuridis lebih dikedepankan tanpa mempertimbangkan tinjauan sosiologis, seperti kasus seorang kakek berusia 68 tahun bernama Samirin di Sumatera Utara divonis hukuman penjara selama 2 bulan 4 hari oleh Pengadilan Simalungun. Samirin dihukum akibat terbukti bersalah memungut sisa getah pohon karet di perkebunan milik PT Bridgestone. Ia terbukti mengambil getah seberat 1,9 kilogram yang jika dirupiahkan sekitar Rp 17.000. Getah itu akan ia jual kepada para pengumpul getah agar mendapatkan uang. Namun, belum juga ia meninggalkan area kebun, seorang petugas memergokinya dan membawanya ke pos satpam. Perusahaan pun melaporkan pada kepolisian. Kepada hakim, Samirin mengaku melakukan hal itu karena membutuhkan uang untuk membeli rokok. kita hanya melihat dasar yuridis saja, maka apa yang terjadi dalam kasus tersebut tidaklah keliru apabila kakek Samirin harus menempuh proses hukum dikarenakan dalam Pasal 362 KUHP bahwa barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum disebut pencurian.
Filsafat Hukum Positivisme dalam Kasus Samirin
Filsafat hukum positivisme menekankan pada hukum yang tertulis, sah, dan berlaku secara formal. Hukum positif dipisahkan dari moralitas dan keadilan. Dalam konteks kasus Samirin, beberapa poin penting yang dapat kita lihat dari perspektif positivisme adalah:
- Hukum Sebagai Perintah: Hukuman yang dijatuhkan pada Samirin merupakan konsekuensi dari pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Negara, melalui pengadilan, telah menjalankan fungsinya sebagai pembuat dan penegak hukum.
- Pemisahan Hukum dan Moral: Positivisme memisahkan hukum dari moralitas. Meskipun tindakan Samirin mungkin dianggap oleh sebagian orang sebagai tindakan yang dapat dimaklumi atau bahkan simpatik karena kondisi ekonomi yang mungkin sulit, hukum positif tidak mempertimbangkan aspek moral tersebut. Hukum hanya melihat apakah tindakan tersebut melanggar aturan yang telah ditetapkan.
- Kepastian Hukum: Putusan pengadilan memberikan kepastian hukum. Dengan adanya putusan ini, masyarakat mengetahui bahwa tindakan mengambil getah pohon karet milik orang lain adalah perbuatan yang dilarang dan akan berakibat hukum.
Penerapan hukum positivisme dalam kasus Samirin menuai banyak kritik karena:
- Hukuman yang dijatuhkan pada Samirin dianggap tidak adil karena tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Selain itu, kondisi sosial ekonomi Samirin sebagai seorang lansia yang mungkin hidup dalam kemiskinan juga tidak menjadi pertimbangan.
- Penerapan hukum yang terlalu kaku dan tidak fleksibel dapat mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan dan keadilan. Hukum seharusnya tidak hanya menjadi alat untuk menghukum, tetapi juga untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
- Dalam kasus ini, penerapan hukum positivisme justru bertentangan dengan nilai-nilai keadilan yang dianut dalam masyarakat. Tindakan Samirin yang mengambil sisa getah karet mungkin dapat dimaklumi karena kondisi ekonominya yang sulit.
madzab hukum positivisme
Madzab Hukum positivisme memandang hukum sebagai seperangkat aturan yang dibuat oleh negara dan berlaku secara formal. Hukum ini tidak perlu memiliki landasan moral atau keadilan yang mutlak, asalkan telah dibuat melalui prosedur yang sah dan berlaku secara umum. Dalam pandangan positivisme, tugas hakim adalah menerapkan hukum secara tegas tanpa perlu mempertimbangkan aspek-aspek di luar hukum positif itu sendiri. Pengadilan Simalungun berfokus pada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya terkait hak milik atas tanah dan hasil perkebunan. Meskipun tindakan Samirin mungkin dianggap sepele atau bahkan dapat dimaklumi dari sudut pandang kemanusiaan, pengadilan tetap mengutamakan aturan hukum yang tertulis.
Argumen Mengenai Mazhab Hukum Positivisme
Mazhab hukum positivisme telah menjadi landasan utama dalam sistem hukum Indonesia. Pandangan ini menempatkan hukum sebagai kumpulan aturan yang dibuat oleh negara dan berlaku secara formal, terlepas dari nilai moral atau keadilan yang terkandung di dalamnya. Hukum positif telah menjadi dasar bagi pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, dalam praktiknya, seringkali terjadi pertentangan antara semangat positivisme dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Kasus Samirin yang Anda sebutkan merupakan contoh klasik tentang penerapan hukum positivisme yang terlalu kaku. Meskipun tindakan Samirin mungkin dianggap sepele, namun karena melanggar aturan yang berlaku, ia tetap dihukum. Hal ini menunjukkan bahwa hukum positif seringkali mengabaikan konteks sosial dan ekonomi yang melatarbelakangi suatu tindakan. maka dari itu harus juga mengedepankan keadilan kepada masyarakat.
Kesimpulan