Lihat ke Halaman Asli

Sekuntum Harapan di Tengah Badai Kolonial

Diperbarui: 2 Juli 2024   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah kota kecil yang terletak di tepi sungai, hiduplah seorang perempuan muda bernama Ani. Ani adalah anak seorang pedagang kaya yang memiliki toko rempah-rempah terkenal di pasar utama kota itu. Meskipun hidup dalam kemewahan, Ani tidak pernah merasa bebas. Zaman kolonial Belanda menghadirkan aturan-aturan yang ketat, termasuk untuk perempuan seperti dirinya.

Setiap pagi, Ani harus mengenakan pakaian adat Belanda: gaun panjang yang berat dan topi besar yang membuatnya merasa terkekang. Ia belajar berbahasa Belanda agar bisa berinteraksi dengan pedagang Eropa yang sering datang ke toko ayahnya. Meskipun demikian, Ani tidak pernah melupakan akarnya. Ia tetap berbicara dengan orang-orang desa dalam bahasa Jawa, menyelipkan tradisi dan kebudayaan mereka ke dalam kehidupan sehari-harinya.

Ani tidak hanya terbatas di dalam toko. Ketika ayahnya pergi mengurus bisnisnya, ia sering diam-diam pergi ke tepi sungai untuk menyaksikan perahu-perahu dagang yang datang dan pergi. Di sana, ia bertemu dengan Sari, seorang perempuan muda yang bekerja sebagai pelayan di rumah seorang pejabat Belanda. Meskipun dari latar belakang yang berbeda, mereka berdua merasa terikat oleh rasa keingintahuan mereka akan dunia di luar dinding-dinding yang mengelilingi mereka.

Suatu hari, Ani menyaksikan Sari diseret keluar dari rumah pejabat oleh anak buahnya yang kasar. Tanpa pikir panjang, Ani melangkah maju dan memberanikan diri untuk membela Sari. Tindakan itu membuatnya mendapat sorotan dari penduduk kota dan juga pejabat Belanda. Meskipun begitu, Ani tidak menyesalinya. Ia percaya bahwa setiap perempuan berhak untuk dihormati dan diperlakukan dengan adil.

Keberaniannya membuahkan hasil. Meskipun hanya dalam skala kecil, Ani berhasil membuka mata orang-orang di sekitarnya tentang hak-hak perempuan. Ia mulai berbicara di pasar, mengajak perempuan-perempuan lain untuk bersatu dan mendukung satu sama lain. Bersama Sari dan perempuan-perempuan lain, mereka membentuk kelompok kecil yang menyediakan pelatihan keterampilan dan pendidikan dasar bagi perempuan di kota itu.

Saat mendekati akhir cerita ini, Ani dan Sari duduk di tepi sungai, tempat pertemuan mereka yang pertama. Mereka tersenyum satu sama lain, merasa bangga dengan apa yang telah mereka capai. Meskipun perjalanan ke depan masih penuh dengan tantangan, mereka yakin bahwa kehidupan perempuan di zaman kolonial tidak lagi boleh diabaikan atau diremehkan. Dengan harapan dan tekad yang kuat, mereka melangkah maju bersama, menantikan masa depan yang lebih baik untuk semua perempuan di tanah mereka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline