Tahukah anda, jika hukum zaman Belanda yang bahkan sudah ada keberadaannya sejak lebih dari 100 tahun lalu menjadi sumber dari pelaksanaan aturan hukum pidana di negara Indonesia? Pada 01 Januari 1918, Pemerintah Belanda mulai memberlakukan hukum pidana tersebut atau lebih kita kenal dengan Wetboek van Strafrecht voor Netherland Indie Stb No.732 Tahun 1915, yang bahkan hingga sekarang belum mempunyai terjemahan secara resmi dalam Bahasa Indonesia sejak mulai ditetapkan berlaku oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1946. Saat ini di Indonesia, hukum tersebut lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai Peraturan Hukum Pidana Nasional.
Pada tahun 1958, Pemerintah Indonesia sudah mulai berupaya untuk melakukan pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagai bentuk upaya dari Pemerintah Indonesia maka berdirilah sebuah Lembaga bernama Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1958 yang bertujuan untuk membahas mengenai segala kepentingan dan menamping segala saran dari masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Wacana mengenai revisi KUHP pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersampaikan ke DPR pada tahun 2012. Tiga tahun kemudian, Presiden Joko Widodo menerbitkan Surat Presiden No. R-35/Pres/06/2015 setelah kepada DPR menyampaikan Kembali rencana revisi pada 5 Juni 2015 agar ditindaklanjuti selama lebih dari empat tahun dengan pembahasan intensif.
Dalam pembahasan Tingkat I pada 18 September 2019, Pemerintah Indonesia dan DPR RI telah menyepakati RKUHP untuk nantinya segera menjadi topik pembahasan Tingkat 2, yaitu pada saat pengambilan keputusan di Rapat Paripurna. Pada tanggal 23 sampai 30 September 2019, masyarakat Indonesia turun ke jalan untuk aksi karena beberapa Substansi RKUHP yang dianggap memperlihatkan ketidakberpihakannya kepada masyarakat. Aksi tersebut berlangsung di berbagai kota besar yang tersebar di Seluruh Indonesia seperti Jakarta, Denpasar, Bandung, Banda Aceh, dan lain sebagainya. Pada tanggal 26 September 2019, Pemerintah Indonesia akhirnya menyepakati bersama untuk menunda pembahasan RKUHP pada Pembahasan Tingkat 2 mendatang.
Sempat ramai ditolak pada tahun 2019, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akhir-akhir ini kembali menjadi perbincangan publik. Hal ini terjadi dikarenakan pada Juli 2022, Pemerintah Indonesia menargetkan agar mempercepat pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat terhenti ditrencanakan akan dilanjutkan Kembali oleh DPR dan Pemerintah Indonesia. Akibat dari tertundanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena semakin gencarnya penolakan dari masyarakat Indonesia, hingga saat ini sudah disetujui di tingkat pertama yang kemudian siap untuk disahkan pada rapat paripurna.
Pada tahun 2019, Pemerintah Indonesia sesungguhnya sudah melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat Indonesia, tetapi hingga saat ini partisipasi aktif dan bermakna yang disampaikan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan pertimbangan atas masukan substantif terkait dengan proses revisi draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) belum juga mendapatkan respon dari Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia belum memberikan perkembangan terkini dari draf RKUHP dan pengesahan yang dilakukan pada Juli 2022 kemarin. Masyarakat Indonesia menilai jika pengesahan tersebut terkesan terburu-buru dan tidak efektif.
Walaupun sudah banyak sekali desakan yang datang dari masyarakat Indonesia mengenai draf terbaru dari RKUHP, namun sampai sekarang ini Pemerintah Indonesia tetap kekeh untuk tidak terbuka terhadap media dan publik. Padahal jika ditelisik secara lebih mendalam, Hak Asasi Manusia kita sebagai masyarakat Indonesia dapat berdampak akibat dari transparansi revisi RKUHP yang bahkan sampai detik ini tidak diperlihatkan kepada publik. Apalagi dengan adanya beberapa pasal yang tertuang di dalam RKUHP dinilai dapat mengancam kebebasan sipil bagi masyarakat Indonesia, sehingga pada akhri-akhir ini mulai semakin memperlihatkan ketidakberpihaknya kepada masyarakat Indonesia dengan timbulnya kriminalisasi di lingkungan sekitar terhadap aktivis, masyarakat umum yang berani menyuarakan pendapatnya dan pembela Hak Asasi Manusia.
Masyarakat Indonesia mengetahui bahwa ada beberapa pasal tertuang dalam RKUHP yang mempunyai potensi untuk menjadi pasal karet yang nantinya ditakutkan dapat mengancam kebebasan ruang sipil, diantaranya adalah pertama, dapat melanggar hak hidup. Sebagai salah satu opsi hukuman pidana yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia, RKUHP masih memberikan pilihan hukuman mati bagi masyarakat Indonesia yang dinilai mempunyai kesalahan melampaui batasan hukum yang ada di Indonesia. Memberikan hukuman mati sebagai opsi hukuman pidana sebaiknya dihapus secara total karena dinilai merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia untuk hidup yang telah lama dilindungi oleh hukum internasional.
Kedua, RKUHP dianggap dapat membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebebasan sipill, dan kebebasan pers dengan adanya beberapa pasal karet, antara lain Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218 dan 219), Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Pasal 240 dan Pasal 241), Pasal tentang penyiaran berita bohong (Pasal 262), Pasal tentang penyelenggaran aksi tanpa pemberitahuan lebih dahulu (Pasal 273), Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 353 dan 354), Pasal tentang pencemaran nama baik (Pasal 439), Pasal tentang pencemaran orang mati (Pasal 446). Beberapa pasal yang tertuang dalam RKUHP tersebut mempunyai potensi retan untuk disalahgunakan sebagai upaya untuk merepresikan pihak yang kritis terhadap pemerintah dan membatasi hak yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia untuk berpendapat.
Beberapa pasal tersebut dianggap kurang sejalan dengan hak atas kebebasan berekspesi serta berpendapat yang telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat" serta pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Ketiga, dapat melanggar hak privasi. Pasal 417 dan 419 yang membahas mengenai perzinaan dan kohabitasi dinilai oleh masyarakat Indonesia dapat melanggar hak atas privasi pribadi yang secar ajelas telah dilindungi oleh hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengatur dengan total 1.251 perbuatan pidana, jika lebih ditelisik kembali secara mendalam ada sekitar 1.198 yang diancam dengan pidana penjara. Jumlah tersebut dinilai berpotensi akan membuat penjara menumpuk. Beberapa pasal dan ketentuan yang tertuang di dalam RKUHP akan membuka peluang lebih besar dari masyarakat yang menggunakan hak atas kebebasan berpendapat sebagai ancaman untuk dipenjara dan dipidana. Apalagi jika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan oleh Pemerintah Indonesia akan berakibat pada kelompok minoritas dan berpotensi untuk meningkatkan diskriminasi terhadap kalangan perempuan dan minoritas seksual lainnya dengan mengatasnamakan pasal 417 dan 419 yang dinilai dapat melanggar hak privasi.