Dalam gelas kehidupan, seteguk rasa kujadikan puisi,
Seperti angin berbisik di rerumputan jiwa yang sunyi,
Rasa getir kehidupan terlukis dalam cairan kristal,
Seperti air mata yang bercerita tentang perjalanan.
Di setiap teguk, rasa manis bertandang,
Seperti senyum mentari di pagi yang merangkak,
Sungguh, hidup bagaikan anggur yang menua,
Rasa pahit dan manis tercampur, meminang hati.
Cinta seperti aroma kopi yang menguar,
Membasahi pikiran dalam setiap hirup,
Rindu bagaikan cokelat, meleleh dalam nurani,
Seteguk rasa, puisi cinta pun terukir.
Seperti hujan di musim gersang,
Seteguk rasa adalah tetesan air yang meresap,
Menghidupkan bumi kering, menyuburkan hati yang terpaut,
Puisi seteguk rasa, alunan sentuhan jiwa.
Bagaikan biru langit dalam cangkir pelangi,
Seteguk rasa adalah perjalanan warna-warni,
Terbentang dalam keheningan, seperti malam yang sunyi,
Puisi ini, sejengkal rasa, sebuah kisah tanpa akhir.
Dalam seteguk rasa, terkandung sejuta makna,
Bagai puisi yang tak pernah usai diucapkan,
Bagaikan semesta yang tak terbatas,
Seteguk rasa, puisi abadi yang terus berkisah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H