Lihat ke Halaman Asli

Intan Septiyowati

Sosiologi FIS UNJ

Replika

Diperbarui: 2 April 2022   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah ini berlatar pada tahun ajaran baru, saat aku baru saja duduk di bangku kelas XI. Di sini aku akan menceritakan tentang salah satu kisahku semasa putih abu-abu. Tepatnya aku akan menceritakan tentang kau. Ya, kau yang baru saja menjadi peserta didik baru di sekolahku. Seketika  mataku tertuju padamu, kenapa? Karena ada satu dan lain hal yang membuat kau memiliki daya tarik di mataku.

Engkau bukanlah dia, kau hanyalah replika dari dia yang sedang merantau untuk sementara waktu. Replika? Apa maksudnya?, Iya kau adalah replikanya, seseorang yang sangat mirip dengan dia. Mungkin dari lukisan mataku, kemiripanmu hanyalah sebatas fisik, tidak untuk sikap dan karakter. Karena karakter kalian sangat bertolak belakang pada awal aku melihat dan merasakan kehadiranmu. Kau yang lebih tinggi, lebih pendiam di luar, dan lebih sering memakai earphone.

Mungkin kehadiranmu di sekolah tidak diperhatikan oleh orang lain, tapi aku memperhatikanmu. Melihat, hanya sebatas bertatap tanpa bisa bercengkrama. Bukan karena dibatasi tembok kaca, tapi karena rasa yang selalu menahannya, hanya terbatasi oleh balkon kelas setinggi dada pun rasanya sangat sulit untuk menerjangnya. Hanya melihat pun sudah cukup rasanya bagiku yang pengecut ini.

Earphone adalah ciri khas dan karaktermu. Setiap hari kau hanya keluar ke depan kelas dengan menggunakan earphone. Entah earphone itu menghasilkan nada suara merdu atau bahkan tidak mengeluarkan sekecil apapun suara. Entah lagu apa yang kau dengarkan hingga kau sangat fokus. Hanya dengan melihat ketenanganmu, aku merasa lega. Tiada rasa apapun terhadapmu, tapi entah kenapa mata ini selalu tertarik dengan karaktermu yang tenang. Seolah membuat siapapun yang melihatnya juga merasa tenang.

Aku tidak memiki banyak cerita tentangmu. Selain apa yang aku lihat sendiri dengan mataku. Aku juga sedikit banyak mendengar kisahmu dari seseorang yang mengaku sebagai teman dekatmu. Tidak banyak yang temanmu katakan, hanya informasi umum yang mungkin tidak bisa aku dapatkan hanya dengan melihat wujudmu.

Seiring berjalannya waktu, aku tidak lagi sekadar melihatmu dari kejauhan. Diam-diam dalam diriku menjadikanmu sebagai salah satu motivasi dan inspirasiku dalam belajar. Maka dari itu, aku merasa sangat candu dan ketergantungan terhadapmu. Tidak bisa sehari saja tidak melihat wujud nyata darimu. Dan untungnya setiap hari ekor mataku selalu menemukan keberadaanmu.

Waktu berjalan hingga di penghujung tahun ajaran. Tiba saatnya Penilaian Akhir Semester (PAS), frekuensi belajarku pun harus lebih besar dan lebih giat. Walaupun sibuk akan ujian dan organisasi, tetap tidak menyurutkan kehendak mataku untuk menatapmu. Tidak peduli  engkau jauh ataupun dekat. Tak terasa ujian akhir telah selesai, tentu semua murid merasa sangat bahagia.

Saat seperti inilah yang selalu ditunggu oleh siswa-siswi SMA, setelah lama hanya berkecimpung dengan tugas, buku, dan modul tebal. Akhirnya kami para siswa dapat merasakan refreshing. Dengan diadakannya classmeeting oleh Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), banyak siswa khususnya laki-laki berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Melepas penat mata melihat buku, waktunya mata mengejar kecekatan gerak bola. Ya lomba yang diadakan adalah futsal tentunya, olahraga favorite para kaum adam. Tentu saja kau juga ikut berpartisipasi mewakili kelas X pada waktu itu. Aku sebagai salah satu penyelenggara kegiatan tersebut sangat antusias dan senang. Bagaimana tidak, hanya dengan duduk tenang, aku dapat melihat kau dengan gerakan cekatan tak beraturan. Entah kau sadar atau tidak, mungkin dari situlah jadi banyak pasang mata tertuju padamu. Mulai dari saat itu juga bukan hanya aku yang menatap kagum akan dirimu.

Entah, aku pun bingung dengan pikiranku sendiri. Memikirkan sesosok manusia yang terlihat sangat tenang dan sedikit dingin dengan balutan earphone di telinga kiri dan kanannya, namun sangat gesit saat bola menghampirinya. Tidak sampai disitu, aku pun dibuat ternganga saat kau berkegiatan di  hari Jumat siang setelah pulang sekolah, tidak aneh mungkin bila kau jalan ke luar gerbang dan pulang. Namun aku kembali dibuat terpukau saat kau melakukan shoot bola ke dalam salah satu sisi ring basket. Entah masih ada berapa banyak kepribadianmu yang belum aku ketahui. Entah akan bagaimana lagi rasa kagumku kepadamu, hanya karena melihat sepintas akan dirimu pun membuatku seketika membeku.

Melihat semuanya aku hanya bisa diam, diam, dan diam. Tak ada aksi yang menghasilkan reaksi aktif darimu. Karena ketidakberanian seorang gadis ini pada sosok tinggi tegapmu. Ditambah lagi perlakuanmu terhadap teman-temanmu yang terlihat sangat seru dan menyenangkan. Dimana dari penglihatan inderaku, kau sangat hangat kepada teman-temanmu, bercanda dan bersuka ria dalam balutan kain putih abu-abu. Ketidakberanian ini terus membekas menjadi kerak dalam diriku.

Tetapi faktanya ketidakberanianku ini justru menjadi pisau tersendiri bagiku, bukan hanya menjadi tamengku, pisau itu justru dengan perlahan menyayat tuannya sendiri. Sakit pun tidak, hanya rasa perih perlahan yang amat pilu. Saat keberanian mulai muncul dalam diri ini. Benar-benar memberanikan diri dengan membuka obrolan melalui salah satu fitur kecanggihan teknologi masa kini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline