Lebih dari delapan dekade lalu, Indonesia yang waktu itu masih deikenal dengan Nusantara, berjuang melawan imperialis dalam hal ini kolonialisme Belanda. Setelah kita menang melawan penjajah Belanda , kita masih harus berjuang lagi mempertahankan kemerdekaan itu melalui perjuangan fisik dan diplomasi. Setelah itu bertahun-tahun kita harus berjuang lagi mempertahankan beberapa daerah misalnya Papua, karena menurut Belanda, Papua tidak pernah termasuk dalam Nusantara.
Perjuangan ini memang dilakukan berabad sebelumnya, namun perlu dicatat bahwa pada sekitar tahun 1928 para pemuda waktu menginisiasi Sumpah Pemuda yang kurang lebih semangat persatuan untuk melawan imperialis dan kolonialis waktu itu. Pada saat itu, bukan perkara mudah untuk mengumpulkan ratusan pemuda dari berbagai etnis karena kondisi transportasi dan komunikasi saat itu tidaklah sebaik saat ini.
Zaman berubah dan situasi berganti. Kini kita berada dalam dinamika dunia yang terus mengglobal , dan kita dihadapkan dengan neoimperalisme dan neo kolonialisme dalam bentuk lain karena sudah bertransformasi semisal ideologi transnasional.
Sesungguhnya Ideologi transnasional sudah masuk ke Indoensia sekitar era Orde Baru, diam -diam melalui benua Australia. Ideologi yang sarat dengan kepentingan politik ini berkembang dengan jalur bawah tanah. Diam-diam berkembang dengann cepat dikalangan pendidikan, melalui kegiatan ekstra kurikulernya. Dan kemudian "meledak" setelah Soeharto tumbang dan berganti dengan era reformasi dimana keadaan berubah 180 derajat.
Ideologi ini kemudian merembes ke banyak bidang, pendidikan sampai birokrasi. Dan Kemudian menemukan bentuknya ketika pemilihan umum baik pemilu di daerah maupun Pemilihan Presiden. Selalu ada kandidat dari kontestasi itu yang dimanfaatkan dan memanfaatkan ideologi transnasional dalam pertarungannya. Orang sering menyebutnya sebagai islam politik. Inilah yang mampu memecah belah bangsa.
Yang paling jelas terlihat adalah sewaktu Pilkada Jakarta tahun 2017, dimana agama dipakai sebagai alat untuk menarik konstituen. Ditambah yang dikedepankan adalah agama dengan ajaran-ajaran tekstual tanpa kontekstual keindonesiaan sehingga jauh dari kesantunan dan harkat islam di Indonesia beratus tahun lalu dimana mereka harmoni dengan pemeluk lain. Padahal siasat ini dipakai hanya untuk meraih suara.
Inilah imperialisme dan kolonialisme kekinian. Banyak orang terjerembab ke hal ini tanpa disadari oleh mereka. Seharusnya kembali melihat agama sesuai konteksnya dan kemudian melihat kebangsaan ini dengan bijaksana.
Dengan begitu, kita akan menjadi bangsa besar, menghargai perbedaan dan perjuangan dimasa lalu. Kita juga akan mempu selalu menghadirkan keharmonisan ditengah keberagaman Indoensia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H