Lihat ke Halaman Asli

intan rahmadewi

bisnis woman

Umat yang Berelasi Baik dengan Allah dan Manusia

Diperbarui: 4 Desember 2020   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

republika

Media Sosial membuat kita kehilangan sisi kemanusiaan kita . Orang dengan enteng mencaci maki karena mereka anggap menghadapi layar handphone atau computer, bukan sesama manusia yang harus dihargai. Walhasil adab kesopanan telah hilang. (Gus Nadirsyah Hosen)

Kalimat di atas adalah cuplikan ucapan seorang intelektual muslim yang mengajar hukum di sebuah universitas ternama di Australia yaitu Universitas Monash. Dia punya dua sisi kehidupan yang kontras, pertama karena harus bergaul dengan kaum intelektual global,  dan kedua karena dibesarkan di lingkungan santri nusantara yang moderat. 

Namun meski  bergaul dengan masyakarkat multiras dan multiagama, Gus Nadir tidak meninggalkan pandangan dan tatacara keislaman dan keindonesiaannya. Nilai-nilai keluhuran bangsa dan nilai agama tidak ditinggalkannya.

Secara intelektual dia sudah menulis beberapa buku. Beberapa karyanya yang berbahasa Indonesia adalah Islam Yes, Khilafah No, Doktrin dan sejarah Politik Islam dari Khulafa Ar-Rasyidin hingga Umayyah. Sedangkan berbahasa Inggris antara lain, Shari'a and Constututionak Reform in Indonesia, Modern Prespective on Islamic Law  dan beberapa lainnya.

Begitu juga dalam mengemukakan pandangan-pandangan dalam tulisan-tulisannya, beliau santun dan berusaha tidak bersifat judgement terhadap sesuatu. Itu merupakan tipikal santri dan ulama yang dibesarkan dengan kesadaran atas kemajemukan di Indonesia dan keilmuan yang harus dikejar setinggi langit. Ibarat kata, berdasar ilmu padi, makin berisi makin menunduklah dia.

Akhir-akhir ini kita sering berhadapan dengan ulama yang 'dibesarkan dan besar' di media sosial dan bukan berinteraksi dengan manusia secara langsung. Mereka seringkali memakai pendekatan logika dan permainan kata saja dalam berbagai dakwahnya. 

Tidak jarang mereka menunjuk orang dengan luagas dan tak jarang mencemoohnya karena dianggap jauh dari ketentuan agama. Caci maki dan merendahkan orang seringkali dilakukan oleh mereka, termasuk mengkafirkan orang dan

Tak jarang mereka mengagungkan diri mereka sendiri dan kelompoknya sebagai penganut agama yang dianggap ideal karena sudah melakukan ini itu yang menurut mereka benar. Tak jarang juga mereka enggan untuk bergaul dengan sesama yang berbeda meski itu adalah saudara dekat atau tetangga dekat. 

Mereka sering mengabaikan relasi sosial dan hanya menngedepankan relasi vertical. Hal ini diperparah dengan media sosial yang mereka gunakan yang menurut cuplikan kalimat Gus Nadir pada awal tulisan ini sering menganggap abai terhadap perasaan orang lain karena apa yang mereka tulis hanya dianggap sebagai  interaksi dengan barang mati seperti layar hp dan computer dan bukan orang-perorang.

Akhir-akhir ini inilah yang terjadi. Banyak ulama besar dan banyak pengikut karena media sosial dan gemar menjudge orang tanpa memikirkan perasaan orang itu. Yang lebih menyedihkan adalah sikap mereka juga diikuti oleh simpatisannya sehingga menimbulkan ketidaksimpatian dari masyakat karena sikap-sikapnya itu.

Menjadi ulama tidak mudah. Dia harus punya basis pengetahuan tetang Allah dan berelasi denganNya. Dia juga harus berelasi dengan sesama manusia dengan baik.  Begitu juga dengan umat. Keduanya harus menjadi sesuatu yang berharga. Karena tanpa itu, semuanya sia-sia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline