Pendidikan sebagai hal strategis harus menengok kembali pendekatan kemajemukan sebagai semboyan pemersatu bangsa. Pendekatan pendidikan dengan mengupayakan kemajemukan harusnya dirancang untuk membuat perubahan besar dalam dunia pendidikan baik di tingkat dasar dan menengah. Hal ini dirasa efektif untuk melawan radikalisme yang akhir-akhir ini marak di tanah air.
Tujuannya adalah memberi pandangan para pelajar sejak dini agar mengenali budayanya sendiri dan budaya orang lain. Di dalamnya juga kepercayaan (iman) yang dianutnya dan iman orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Pendidikan yang mengandung kemajemukan juga dapat dibangun melalui pendekatan agama. Alasan utamanya adalah agama itu mengakui dan mengajarkan menerima keragaman dan kemajemukan. Agama Islam misalnya.
Agama Islam menjelaskan Tuhan menciptakan manusia dari jenis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kemudian menjadi majemuk karena berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Artinya keberadaan manusia secara sunnatullah adalah beragam dan majemuk, dengan ini agar manusia untuk saling mengenal satu sama lainnya yang berbeda(QS. al-Hujurat: 13).
Semuanya termaktub pada dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila adalah pilar utama dari semua pilar penting yang pernah ada di Indonesia. Ia adalah inti dan pemersatu perbedaan masyarakat di nusantara sejak berabad-abad lamanya. Abdurrahman Wahid pernah berkata bahwa sebelum hal-hal yang jadi pemersatu itu disebut Pancasila, kita sebagai bangsa adalah bangsa berBhinneka Tunggal Ika.
Bhinneka Tunggal Ika ternyata ampuh untuk mempersatukan perbedaan menjadi satu tujuan Indonesia. Setelah sekian lama merdeka upaya bangsa Indonesia agar tetap bersatu hendaknya dapat menjaga di berbagai sektor, termasuk pendidikan.
Atas dasar inilah sudah seharusnya pendidikan agama (dan guru !) menjadi dasar menjaga kebinekaan. Guru menjadi andalan negara untuk memberi arah bagi pendidikan yang benar. Jadi, tidak sepatutnya guru dan pendidikan agama sebagai pemicu fundamentalisme, konservatisme bahkan radikalisme. Atau pendidikan agama sebagai idiologisasi yang dapat meretakkan kebinekaan. Agama bukanlah alat untuk hal-hal yang sempit dan negatif- seakan positif dan berkiblat agamis- tapi sebenarnya negatif dan menghilangkan konteks (bernegara dan bertanah air yang kaya ragam dan perbedaan)
Jadi selayaknya pendidikan agama sebagai transformasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan dan nilai-nilai kealaman dalam kehidupan sosial bisa menghasilkan sesuatu yang positif untuk lingkungan sekitarnya. Dengan begitu kita bisa melihat sesuatu dengan lebih luas dan tidak terjebak pada hal yang sempit dan radikal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H