Lihat ke Halaman Asli

Insyiraa Bunga Putriana

Mahasiswi Universitas Negeri Jakarta

Paradigma Sosiologi

Diperbarui: 6 September 2022   04:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah paradigma pertama kali dikenalkan oleh fisikawan yang berasal dari Amerika, yaitu Samuel Kant dalam bukunya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolution” tahun 1962. Setelah itu kembali dipopulerkan lagi oleh Robert Frederic melalui bukunya yang berjudul “Sociology of Sociology” tahun 1970. Menurut pandangan Samuel Kant, paradigma merupakan sebuah cara untuk mengetahui suatu realita sosial yang dikonstruksi dan kemudian menghasilkan sesuatu yang spesifik. Menurut pandangan Samuel Kant paradigma adalah cara pandang atau pemikiran yang dalam dan kemudian menghasilkan sebuah pengetahuan. Paradigma merupakan suatu penggambaran yang sangat besar dan sudah menjadi pokok bahasan dalam ilmu pengetahuan. Paradigma juga merupakan unit terluas dari konsensus-konsensus yang membedakan suatu komunitas ilmuwan yang satu dengan yang lainnya, contohnya seperti perbedaan perspektif  para sosiolog mengenai istilah fakta sosial atau ilmu-ilmu sosial lainnya. 

Samuel Kant menyatakan bahwa perkembangan ilmu sangatlah berkaitan dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu. Jadi sudah pasti para ilmuwan memiliki cara pandang atau persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu realitas. Maka dari itu dapat kita ketahui bahwa pemahaman realitas sangatlah beragam atau bermacam-macam sifatnya. Contoh dari keragaman realitas yaitu fenomena kemacetan, ada sebagian orang yang menganggap kemacetan lalu lintas terjadi karena tidak tertibnya masyarakat terhadap peraturan lalu lintas yang sudah ditetapkan, dan ada juga sebagian masyarakat yang menganggap bahwa kemacetan lalu lintas terjadi karena semakin banyaknya pengguna kendaraan pribadi seperti motor dan mobil. 

Menurut George Ritzer terdapat tiga faktor yang menyebabkan perbedaan paradigma dapat terjadi. Pertama, adanya perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikiran setiap pribadi karena terdapat banyak aliran-aliran filsafat. Contoh aliran filsafat adalah aliran empirisme, materialisme, dan lain-lain. Kedua, konsekuensi dari adanya perbedaan pandangan tersebut menghasilkan penggunaan teori yang berbeda-beda dalam melihat suatu fenomena yang terjadi. Ketiga, metode yang digunakan untuk memahami dan menerangkan substansi dari ilmu yang berbeda antar komunitas ilmuwan yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan paradigma ini sudah ada sejak zaman  yunani kuno, socrates dan hingga saat ini.  Namun dengan adanya perbedaan paradigma tidak berarti akan selalu menghasilkan sesuatu yang bersifat negatif, justru hal tersebut dapat menghasilkan suatu perkembangan dalam ilmu pengetahuan.  

Sosiologi mempunyai beberapa paradigma atau biasa disebut dengan paradigma ganda. Menurut George Ritzer sosiologi memiliki tiga paradigma. Pertama adalah paradigma fakta sosial, fakta sosial merupakan hasil pemikiran dari tokoh terkenal sosiologi yaitu Emile Durkheim. Menurut pendapat Durkheim, fakta sosial adalah suatu barang yang nyata dan data yang nyata dan dilakukan di luar pemikiran manusia. Durkheim membagi fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu fakta sosial material dan fakta sosial non material. Fakta sosial material terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat dan diamati di dunia nyata dan bukan bersifat imajinatif atau khayalan (contoh : bentuk bangunan). Sedangkan fakta sosial non material merupakan suatu ekspresi yang terkandung di dalam manusia itu sendiri (contoh : moralitas, kesadaran diri, opini atau pendapat). Metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial biasanya adalah interview. Paradigma fakta sosial lebih menekankan pada struktur sosial dan juga institusi sosial. 

Paradigma sosiologi yang kedua ialah definisi sosial. Paradigma definisi sosial ini dilandasi oleh pemikiran tokoh terkenal sosiologi yaitu Marx Weber yang diambil dari tindakan sosial. Weber melihat antara struktur sosial dan institusi sosial saling berhubungan atau terbentuk  secara satu kesatuan yang menghasilkan suatu tindakan manusia atau bersifat dualitas. Weber memandang dua hal ini saling berhubungan dan menghasilkan suatu tindakan yang bermakna. Sebaliknya jika suatu tindakan tidak memiliki motif atau makna, berarti hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Menurut Weber sosiologi merupakan ilmu yang berusaha untuk menafsirkan atau mengartikan segala tindakan sosial atau tindakan manusia. Paradigma definisi sosial terdiri dari  beberapa teori pendukung. 

Teori pendukung yang pertama adalah teori aksi atau bertindak. Teori ini dibangun berdasarkan pemikiran beberapa tokoh terkenal sosiologi, seperti Emile Durkheim, Max Weber dan Pareto. Menurut Max Weber individu melakukan suatu tindakan berdasarkan pengalaman, tindakan stimulus, persepsi dan juga pemahaman. Tindakan sosial terjadi karena adanya stimulus atau rangsangan atau tujuan tertentu.  Jika tindakan tidak memiliki suatu motif maka tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial dibagi menjadi empat macam, yang pertama yaitu rasionalitas instrumental. Rasionalitas instrumental ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk dicapai. Rasionalitas instrumental sifatnya rasional atau dapat dipahami. Tindakan sosial yang kedua adalah rasionalitas yang berorientasi kepada nilai. Tindakan ini didasari atas nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat setempat, contohnya yaitu nilai-nilai yang mempengaruhi segala tindakan manusia seperti etika, estetika, dan juga nilai agama. 

Tindakan sosial yang ketiga adalah afeksi. Afeksi ini ditentukan oleh kondisi-kondisi kejiwaan dan perasaan yang dimiliki setiap individu. Kondisi ini timbul secara spontan atau tidak direncanakan, contohnya seperti disaat kita mendengar kabar duka secara tidak sengaja kita akan mengeluarkan air mata karena ikut merasa bersedih. Tindakan sosial yang terakhir adalah tradisional. Tindakan ini percaya akan tindakan yang sering dianggap tidak logis atau tidak masuk akal bagi beberapa masyarakat, contohnya seperti adanya fenomena penyuguhan sesajen saat akan menjelang hari raya agar dapat mengurangi rasa amarah para roh nenek moyang. Tindakan ini sering kali dianggap irasional atau tidak dapat dipahami oleh masyarakat mayoritas.

Selanjutnya  teori pendukung paradigma yang kedua adalah teori interaksionisme simbolik. Teori ini merupakan hasil dari sintesis atau pengembangan teori aksi. Fokus teori ini berada pada individu yang terkait pada antar simbol dan juga interaksi yang terjadi. Awalnya teori ini dikembangkan di Michigan University oleh John Dewey dan semakin di populerkan oleh Herbert Blumer. Teori ini dianggap sangat luar biasa oleh para ilmuan karena dengan teori ini mereka dapat melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat pada saat itu. Teori interaksionisme simbolik ini memiliki beberapa poin penting, diantaranya adalah manusia memiliki kemampuan untuk berpikir sendiri, setiap individu dapat menentukan tindakan apa yang dilakukan setelah individu menafsirkan situasi atau kondisi sosial tertentu, setiap individu dapat menciptakan kelompok sosial, dan terakhir adalah setiap individu dapat memodifikasi simbol atau makna yang mereka gunakan. Contoh dari individu dapat memodifikasi makna adalah seperti adanya larangan tertawa terlalu keras atau larangan bersendawa secara sembarangan di suatu tempat. 

Teori pendukung paradigma definisi sosial yang ketiga yaitu teori fenomenologi. Salah satu tokoh teori ini adalah Alfred, ia berpendapat bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia tersebut memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya tersebut dan begitu pula sebaliknya. Manusia atau individu dapat menciptakan fenomenanya sendiri dengan memberikan arti terhadap perbuatan-perbuatan tertentu. Teori pendukung paradigma definisi sosial yang terakhir adalah teori etnometodologi. Teori ini merupakan cabang dari teori fenomenologi. Teori ini berusaha untuk mengungkap realitas dunia kehidupan individu atau masyarakat. Pokok masalah dari teori etnometodologi adalah pertukaran komunikasi untuk saling memahami dalam kegiatan berkomunikasi. Paradigma sosiologi yang terakhir adalah paradigma perilaku sosial. Dalam paradigma ini sering kali dikatakan bahwa individu kurang memiliki kebebasan. Selain itu teori ini juga memusatkan hubungan individu dengan lingkungannya. Teori etnometodologi mempelajari tentang bagaimana setiap individu menciptakan berbagai metode dalam mencapai dan memahami kehidupan sehari-hari. 

Terakhir adalah paradigma sosiologi perilaku sosial. Dalam paradigma ini pusat perhatiannya berada pada hubungan antar individu dan hubungan individu dengan lingkungannya. Paradigma perilaku sosial mengacu pada karya Burrhus Frederic Skinner yang berjudul “Beyond Freedom And Dignity” tahun 1971. 

Sumber : PODCAST SOSIOLOGI KOPI (@syaifudinsosio)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline