Kereta malam itu pelan-pelan meninggalkan Stasiun Tugu. Diana memeriksa ponsel di sakunya, berharap tiada berita buruk dari adiknya yang saat ini menjaga ibunda tercinta di salah satu rumah sakit di ibu kota. Ibu yang tadinya tangguh tetapi kini rapuh.
Ibunda biasanya berjualan sayur-mayur sejak pagi buta di pasar Beringharjo. Dengan kerja keras dan ketekunan mengelola hasil jualannya, ia bisa menyekolahkan Diana dan adiknya. Diana bahkan sebentar lagi akan menamatkan sarjana dari Universitas Gajah Mada.
Usianya yang semakin sepuh, membuat ibu sakit-sakitan. Sekarang ini ibu tinggal dengan keluarga adiknya, Laras.
Ibu membutuhkan perawatan intensif dan perhatian penuh. Oleh karena itu, Laras meminta agar ibu mau dirawat di rumah sakit tempat suami Laras bekerja. Ridwan, suami Laras, seorang dokter bedah di sana.
"Ibu sudah siuman, Mbak." Laras, sang adik, meninggalkan pesan singkat.
Diana terharu ketika membaca pesan itu di ponselnya. Air matanya tiba-tiba mengalir.
Ia ingin segera bertemu ibunda. Mencium tangan suci yang mengasihi sejak dalam kandungan. Bayang kerinduan, khawatir dan cinta mengisi lamunan.
Diana memang tetap tinggal di Yogyakarta karena harus bekerja. Dia harus rela melepaskan kepergian ibunya ke Jakarta. Diana belum memiliki pasangan hidup. Dia terlalu sibuk membantu ibu dan mengurus adik-adiknya sehingga lupa pada urusannya sendiri.
Pernah ada seseorang yang mengisi hatinya saat SMA dulu, tetapi, kisah indah antara mereka harus berakhir karena perbedaan status. Perpisahan yang sangat melukai sudut hatinya sehingga memaksa Diana memilih untuk tetap sendiri hingga kini.
Diana bangkit dari tempat duduk. Kakinya melangkah pelan, begitu pelan, seperti sulit digerakkan.
Barangkali beban yang menumpuk di benaknya sudah jatuh ke bawah, merambat ke seluruh tubuh, sehingga semua terasa berat, sekadar untuk bergerak. Dia mencoba melepaskan penat di hatinya dengan menyusuri lorong kereta.
***