Lihat ke Halaman Asli

Inspirasiana

TERVERIFIKASI

Kompasianer Peduli Edukasi.

Kisahku di Penjara: Hantu Itu Bernama "Kooperatif" (Bagian 7)

Diperbarui: 7 Maret 2022   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisahku di Penjara: Hantu Itu Bernama "Kooperatif" -EKATERINA BOLOVTSOVA /Pexels

Lanjutan kisah nyata Kang Win di penjara. Silakan ikuti akun Inspirasiana ini untuk membaca bagian berikutnya.

Hantu itu Bernama Kooperatif (Melawan Dengan Sabar: Bagian 7)

'Itu pangacarana kooperatif teu?' Sebuah pertanyaan dilontarkan seorang pejabat struktural kejaksaan negeri kepada saya saat berjalan bersama menuju Rutan.

Sore itu saya baru saja naik pangkat dari tersangka menjadi terdakwa. 'Sina koordinasilah ka saya', ucapnya. Kami berbicara dalam bahasa Sunda karena pejabat kejaksaan itu berasal dari Bandung juga sama seperti saya.

Dia bertanya apakah pengacara yang jadi penasihat hukum saya bisa bersikap kooperatif apa tidak. Dia juga meminta agar saya memberitahu pengacara saya untuk koordinasi dengannya.

Ajakan untuk koordinasi juga saya terima dari oknum di pengadilan tempat saya menjalani peradilan sesaat setelah selesainya sidang yang agendanya pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Saya tidak bisa memastikan apakah permintaan koordinasi lewat pengacara saya itu benar-benar berasal dari 'orang' yang menentukan putusan pengadilan untuk saya. Namun kami (saya dan tim pengacara) sepakat untuk tidak melayani ajakan koordinasi itu.

Setidaknya ada tiga alasan atas keputusan tersebut. Pertama, kami berpikir bahwa ajakan koordinasi akan berujung kepada besaran rupiah dan saya tidak punya kesanggupan untuk menyediakannya.

Kedua, sekiranya saya memiliki kesanggupan untuk menyediakannya, bisa saja transaksi rupiah semacam ini akan berujung kepada Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi yang berarti masalah baru menanti saya di depan.

Ketiga, jika benar 'ajakan' koordinasi ini berasal dari pihak yang kompeten dalam putusan perkara, maka itu berarti saya melacurkan diri saya dengan menggunakan kekuatan uang untuk mempengaruhi keputusan pengadilan. Ini sesuatu yang saya hindari bahkan sejak awal dari proses hukum di kejaksaan.

Belakangan ketika palu hakim sudah diketuk, dimana saya dihukum lebih berat daripada tuntutan JPU, saya mendapatkan 'konfirmasi' dari sumber kompeten yang bisa saya percayai bahwa ajakan koordinasi itu benar adanya. Saya tidak sedang mengatakan bahwa putusan majelis hakim yang lebih tinggi daripada tuntutan JPU adalah karena saya tidak merespons 'ajakan' koordinasi itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline