Life becomes infinitely more enjoyable when we live with meaning and purpose - Seph Fontane Pennock
Saya setuju dengan pendapat Seph Fontane Pennock, seorang psikolog, tentang hidup. Dia menulis jika hidup dapat menjadi hal yang manis jika kita dapat menajamkan bakat, menyalurkan minat, dan sekaligus menolong orang lain.
Hewan lahir tanpa akal, dilahirkan untuk ditangkap dan lenyap tanpa arti. Tetapi manusia lahir dengan bakat khusus, yang Tuhan berikan di dalam hatinya. Dengan demikian, ia hadir di dunia dengan suatu arti dan tujuan khusus.
Ngomong-ngomong tentang bakat, saya mewarisi bakat menulis dari ibu. Beliaulah yang mengenalkan saya kepada dunia penulisan.
Ibu saya senang menulis cerpen. Dulu, cerita-ceritanya selalu dimuat di salah satu majalah yang cukup ternama. Namun sayang, beliau tiba-tiba berhenti menulis.
Nasib saya tidak seberuntung ibu di dunia tulis menulis. Karya-karya saya selalu ditolak di majalah religi. Hingga akhirnya, saya mencoba bidang lain untuk ditekuni.
Di tahun 2017 saya mulai mengenal Kompasiana. Setelah lama tidak pernah menulis, saya harus belajar lagi untuk menulis. Dan hasilnya, salah satu artikel tentang motherhood menjadi Artikel Utama.
Sayangnya, setelah itu saya kembali hilang dari dunia tulis menulis. Hingga ketika pandemi COVID-19 mulai gempar, dan PPKM Tangerang diaktifkan, saya baru teringat tentang akun di Kompasiana.
Bulan April 2020, saya mulai aktif lagi menulis di Kompasiana. Sempat mundur sejenak, hingga seorang teman Kompasioner mengajak untuk menulis kembali.
Ketika fokus menulis saya mulai teralih, datanglah satu email. Isinya cerita dan renungan yang menarik, tapi dua kalimat di akhir email itu begitu menampar.
"Have you ever had a similar 'close call'? And (how) did it make you re-evaluate what matters most to you?"