Lihat ke Halaman Asli

Inspirasiana

TERVERIFIKASI

Kompasianer Peduli Edukasi.

Kisahku bersama Rumah Asa Anak Berkebutuhan Khusus serta Wanita Termarjinalkan

Diperbarui: 19 Mei 2021   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisahku dan Rumah Asa Anak Berkebutuhan Khusus dan Wanita Termarjinalkan / dokpri

Sahabat pembaca, perkenankanlah saya berbagi kisah nyata sebagai pemerhati anak-anak berkebutuhan khusus dan para perempuan termarjinalkan. Saya menjadi penggawa dalam lembaga HOPE (Home Of PsychE) yang berpusat di Kota Toleransi Salatiga. 

Menyediakan layanan bagi mereka yang termarjinalkan merupakan sebuah impian saya sejak lulus dari 'sekolah kehidupan' belasan tahun lalu. Melihat mereka yang dipenuhi 'cinta' memupuk keinginan untuk memeluknya lebih erat lagi.

Sangat mudah untuk mengasihi, mencintai mereka-mereka yang sarat dengan pesona duniawi, yang secara kasat mata memiliki kepiawaian memikat 'dunia'. Mencoba menikmati keadaan, kondisi sebaliknya tentu memang tidak mudah. Apalah dan siapalah saya, hamba-Nya yang hanya remah-remah tak berguna ini.

Menyaksikan dan mengalami kasih Tuhan yang luar biasa dalam hidup, menyadarkan betapa penting memberi diri saya bagi mereka, seperti yang Tuhan ajarkan. 

Mengasihi tanpa syarat. Mencintai tanpa melihat perbedaan antarinsan. 

Hope merupakan impian sejak saya menerima tempaan-tempaan hidup setelah lulus dari sekolah formal, Ilmu Jiwa di Kota Lumpia. Saat itu Tuhan memberikan izin untuk mengalami didikan-didikan berat bagi saya guna melayani anak-anak berkebutuhan khusus.

Tempaan fisik yang jika diingat sekarang hanya mampu menertawai kejadian itu. Impian lulus dari Fakultas Psikologi bekerja pada perusahaan dengan bendera besar tidak saya alami. Pengalaman dididik dalam rumah terapi anak-anak berkebutuhan khusus menjadi sebuah awal memasuki jalan kasih-Nya.

Pengalaman digigit bagian depan dan belakang tubuh, dihujani (maaf) muntahan ikan salmon, ditampar, dipukul, dicubit, dan hal-hal lain saya terima dengan ucapan syukur saat ini. Namun  saat itu yang ada hanya menangis, menahan 'luka mulia'. 

Anak-anak itu jelas tidak paham bahwa hal itu menyakiti guru mereka, tetapi mereka sendiri pun sedang berjuang melawan dirinya sendiri, yang tentu banyak orang belum tentu paham. Di usia 20-an tahun, saya dipaksa mengerti, dan hal itu membuahkan cinta besar kepada anak-anak hebat ini hingga masa sekarang.

Didikan dan tempaan-tempaan itu saya dapat untuk memberi sebuah kedalaman makna cinta. Air mata yang mengalir di wajah-wajah orang tua yang membutuhkan harapan sering saya lihat. Itu membuat jeritan batin untuk membantu mereka lebih kuat lagi.

HOPE secara formal pernah saya usahakan berdiri secara resmi kala saya bekerjasama dengan rekan-rekan dokter dan psikiater di RS Pertamina Klayan Cirebon. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline