Ajaran sosial masyarakat Manggarai diwariskan dalam bentuk go'et-go'et (seloka), tombo turuk (pengajaran) dan dalam nyanyian-nyanyian tradisional.
Dari sekian banyaknya ajaran sosial masyarakat Manggarai itu, ada satu ajaran yang bernuansa ajakan agar "neka poka puar..(jangan menebang pohon secara sembarangan dan/atau tidak bertanggung jawab").
Kalimat neka poka puar ini biasanya diikuti kalimat jaga meti wae yang berarti awas sumber mata airnya hilang.
Ajaran sosial ini menekankan pada pentingnya pohon bagi keberlangsungan hidup manusia dan segenap ciptaan lainnya. Ihwal, tanpa adanya pohon, mata air pasti akan mengering, sejumlah satwa akan kehilangan tempat tinggalnya dan lain sebagainya.
Bertolak dari sederet fakta itulah, komunitas adat di Manggarai sangat mengharamkan penebangan hutan secara liar. Apalagi sampai menebang pohon yang berada dekat mata air, misalnya. Tentu saja tindakan fatalisme seperti itu akan berujung pada jeratan hukum adat.
Kalimat neka poka puar pada dasarnya mempunyai fungsi laten dalam komunitas adat. Karena kami di Manggarai menyadari bahwa, aktivitas penebangan pohon secara serampangan adalah suatu kegiatan yang tidak dikehendaki dan/atau tidak boleh dilakukan.
Ada sebuah kebiasaan, para sesepuh dan tetua adat di desa seringkali berpesan bila hendak mencari kayu bakar ke hutan, maka carilah apa yang hendak dicari dan jangan sampai meninggalkan kerusakan. Selebihnya, jika ingin membuat api (memasak maksudnya), carilah tempat yang memungkinkan dan jauhi semak belukar agar tidak memicu kebakaran hebat di hutan.
Pandangan masyarakat Manggarai terkait pohon dan hutan ini biar bagaimanapun tak bisa dilepaskan dari refleksi atas kondisi sosial masyarakatnya. Dalam hal ini komunitas adat Manggarai mempunyai kultur agraris yang erat dan integral dengan alam sekitarnya.
Tak bisa dimungkiri lagi bahwa, berkat hutan yang dilindungi dengan baik itu, air di sungai tetap mengalir, debit pengairan irigasi persawahan tetap lancar, ketersediaan air untuk konsumsi sehari-hari tetap terjamin hingga terciptanya udara sejuk di desa.
Bila berbicara tentang pohon dan kesejukan, saya pikir, kita perlu belajar dari Buddha Gautama.
Pada dinding relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan, misalnya, kita bisa melihat dan menyaksikan lukisan pohon dan maknanya dalam kehidupan kita.