"Alamak! mahal kalilah ko (kamu) punya mahar, Nona,"
Demikianlah gerutu Philip suatu hari kepada Puspa, kekasihnya, melalui sambungan telefon. Philip menggerutu demikian ihwal sebelumnya dia mendengar pihak keluarga Puspa meminta mahar nikah (belis) dengan jumlah ratusan juta rupiah.
Menurut Philip, seperangkat mahar nikah yang diminta oleh keluarga Puspa itu jumlahnya sangat keterlaluan. Selebihnya, sama sekali tidak mengedepankan unsur 'momang' (kasih kepada calon anak mantu).
Namun, respon Puspa hanya datar saja. Dia tidak bisa berbuat banyak, lantaran keputusan menyangkut jumlah mahar nikah itu sepenuhnya berada di tangan orang tua dan keluarga besarnya.
Puspa sadar bahwa begitulah laku dalam budaya patriarki. Dia bukanlah pribadi yang sepenuhnya otonom. Dia tidak selamanya bebas dalam menentukan aras hidup, pasti ada rambu-rambu yang tidak boleh dilangkahi begitu saja. Demikian pun dalam penentuan mahar nikah dirinya, misalnya.
Kurang lebih, begitulah potret singkat dari ribetnya proses pernikahan adat di tempat Philip, Pulau Flores.
***
Seiring berjalannya waktu, biaya pernikahan adat masyarakat di Pulau Flores memang jumlahnya tak sedikit. Penyebabnya tak lain karena gengsi sosial dan adanya salah kaprah dalam memahami konsep belis itu sendiri.
Pada galibnya, belis dalam pernikahan adat Flores pertama-tama harus dilihat sebagai 'penghargaan' terhadap rahim.
Sebab, hanya perempuan sajalah yang mempunyai rahim untuk mengandung, kemudian melahirkan dan menjadi seorang ibu.