Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Hadi Ramdhani

Traveler, Writer, photographer

Bocah Pohon Paku

Diperbarui: 8 Maret 2020   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Matahari baru saja menampakan dirinya dibalik susunan bukit-bukit itu, ia dengan kawan-kawannya telah bergegas menyusuri jalanan menanjak untuk mencari tanaman yang menjadi sumber penghasilan tambahan bagi keluarganya. Begitulah kehidupan anak-anak desa sapit, mereka yang bernasib tidak sebaik kawan-kawannya yang lain, harus merelakan sebagian masa kecilnya untuk membantu meringankan beban keluarganya.

 Dengan baju yang agak lusut, sisa-sisa getah pepohonan bercampur aroma keringat masih tergambar jelas di baju yang dikenakan anak itu. Kaki-kaki itu merangsak jauh menyusuri jalan setapak yang disediakan lebatnya hutan kaki gunung rinjani. Dengan mata yang mawas dan cekatan memilah tumbuhan demi tumbuhan yang tumbuh di sekitar jalan setapak yang mereka lalui. Sesekali waktu, mereka bahkan harus berhenti dan membungkukan tubuh remaja mereka, ketika pandangannya menemukan tumbuhan yang mirip dengan apa yang mereka cari.

Bagi mereka yang pernah melalui jalan raya yang membelah hutan lebat kawasan gunung rinjani dari aik mel sampai di pertigaan arah ke bayan, mungkin tak asing dengan mereka. Menjajakan ke semua pengguna jalan hasil buruan mereka di tengah hutan. Tumbuhan dengan nama latin Cyatheales ini dikenal dengan nama paku oleh masyarakat sasak dan merupakan sayur-sayuran yang banyak digemari oleh orang sasak. Tak sebegitu mahal harga yang ditawarkan anak-anak ini kepada pengguna jalan, tak sebanding dengan resiko yang harus mereka hadapi ketika mencarinya di dalam hutan. Serangan binatang liar, tertusuk duri pepohonan beracur, jatuh kedalam jurang, menjadi bahaya yang sewaktu-waktu, bisa saja mengancam mereka. Namun rupiah demi rupiah yang mereka peroleh, walaupun tak seberapa, sangat berarti bagi mereka.

Tak sedikitpun dari muka mereka nampak keluhan, tak sedikitpun cacian keluar dari mulut mereka atas kondisi yang mereka alami. Mungkin, karena mereka masih bocah, atau mungkin mereka sudah pasrah, ataukah memang mereka menemukan cara bahagia dibalik keadaannya itu. Namun yang jelas, pelajaran syukur dan cara menikmati hidup kita dapatkan dari anak-anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar itu. Bagi mereka, bahagia itu sederhana, sesederhana orang-orang yang menawar pakunya dengan harga murah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline