Lihat ke Halaman Asli

Seandainya ARB Menjadi Capres

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam benak saya, ketika saya mendengar sebuah nama “Aburizal Bakrie”, terbersit dua hal, yaitu businessman dan kasus Lapindo. Jujur saya tidak banyak mengetahui sepak terjang beliau dalam dunia politik. Namun setelah sedikit membaca mengenai biografi dan hiruk pikuk beliau dalam dunia bisnis dan politik, termasuk mengenai pencalonan beliau menjasi presiden RI dahulu, saya tidak terlalu optimis mengenai elektabilitas beliau. Bukan karena kualitas beliau yang berada di bawah calon-calon yang lain. Ketidakoptimisan tersebut karena justru saya rasa belum banyak orang yang mengetahui kualitas beliau. Image beliau mengenai kasus Lapindo (2006) kemungkinan lebih melekat kuat dalam benak masyarakat dari pada mengenai prestasi-prestasi beliau. Oleh karena itu, saya menyimpulkan bahwa beliau belum memiliki sosok (pencitraan) calon yang layak dipilih sebagai presiden. Bagaimanapun, tidak ada yang tahu sosok sebenarnya dari seorang ARB , tak terkecuali sosok capres lain.
Menurut pemikiran saya sendiri, ARB adalah sosok yang bijak dan bertanggung jawab. Bijak tersebut tidak saya artikan sebagai kebijakan yang selalu membela rakyat kecil,apapun yang terjadi. Karena masyarakat Indonesia sendiri tidak hanya berasal dari kalangan bawah, meskipun mayoritas adalah kalangan menengah ke bawah. Menurut saya, bijak adalah suatu keputusan yang menghasilkan kombinasi terbaik bagi seluruh lapissan masyarakat, juga pemerintah atau negara.
Pada masa jabatan beliau menjadi menko perekonomian, beliau pernah menaikkan BBM sebanyak dua kali dengan tujuan menyelamatkan krisi ekonomi Negara dan membetulkan sistem subsidi BBM. Meskipun menuai kontroversi, menurut saya, keputusan beliau tersebut adalah keputusan yang sangat bijak. Selama keberajalanan subsidi tersebut, masyarakat yang paling banyak menikmati kemungkinan besar adalah masyarakat menengah ke atas seperti pemilik kendaraan terutama kendaraan roda empat pribadi mewah (yang bisa jadi lebih sering digunakan dan membutuhkan BBM lebih banyak dari pada kendaraan roda 2 yang kebanyakan dimiliki masyarakat menengah ke bawah) dan pemilik industri besar, bukan tukang gorengan yang hanya memakai minyak tanah satu hingga dua liter perhari. Malah, bisa jadi, masyarakat kalangan bawah yang rela berpanas-panasan untuk berdemo itu justru merupakan suara-suara bayaran yang berasal dari kalangan atas yang lebih merasa dirugikan. Meskipun kebijakan tersebut sedikit menuai keresahan pada masyarakat menengah ke bawah, saya yakin manfaat yang dapat dituai melalui jaminan pendidikan dan kesehatan jauh lebih besar.
Pada kasus lapindo, ada tiga perusahaan yang dinyatakan bertanggung jawab atas kasus tersebut, yaitu PT Medco Energi E&P, SantosdanPT Lapindo-Brantas yang dimiliki Bakrie Group. Saya cukup terkesan atas tanggung jawab beliau dalam menangani kasus tersebut hingga dikabarkan menghabiskan dana sekitar 8 triliun rupiah yang konon lebih besar daripada dana APBN. PT Lapindo bertanggung jawab sesuai dengan Pasal 15 dalam Perpres No 14 Tahun 2007. Namun, dalam beberapa isu dinyatakan bahwa kuantitas tanggung jawab dalam peraturan presiden tersebut harus digarisbawahi. Kabarnya biaya penanggulangan kasus yang sebagian ditanggung oleh Negara tersebut seharusnya ditanggung seratus persen oleh perusahaan. Setelah dikaji lebih lanjut, ternyata semburan lumpur di Sidoardjo tersebut bukan merupakan bencana alam, melainkan kejahatan. Selain dikabarkan melanggar 15 kategori HAM, Perusahaan beserta pihak lain yang terkait (BP Migas dan Bupati Sidoardjo) juga telah melanggar Peraturan Daerah Sidoarjo Nomor 16 Tahun 2003 tentang rencana tata ruang wilayah Sidoarjo 2003-2013 yang menyatakan bahwa diperuntoardjo tidak di peruntukkan menjadi kawasan pertambangan. Keputusan untuk melakukan penambangan tersebut tentunya merupakan hasil keputusan bersama kelima pihak, termasuk pihak ARB.
Atas pelanggaran peraturan daerah di atas, sudah seharusnya pengadilan menyatakan bahwa kasus lapindo bukanlah bencana alam. Namun faktanya pengadilan malah menjatuhkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada kepolisian Jawa Timur dan menyatakan bahwa kasus tersebut merupakan bencana alam yang seharusnya ditanggulangi oleh pihak-pihak terkait, terutama pihak perusahaan. Namun dalam perpres dinyatakan bahwa Negara pun ikut bertanggung jawab atas kasus tersebut. Secara logis, keputusan tersebut tentunya tidak dapat diterima. Peraturan presiden yang dibuat pada masa jabatan SBY tersebut dirasakan sedikit tidak berdasar. Dalam beberapa isu dinyatakan hal tersebut dapatterjadi karena adanya koalisi Antara partai golkar dan Demokrat. Adanya harapan-harapan tertentu SBY pada golkar bisa saja menyebabkan kasus ini sedikit dimanipulasi. Pertama kasus semburan lumpur dijadikan sebagai kasus bencana alam di pengadilan sehingga perpres diputuskan atas dasar tersebut. Lalu,penanggulangan kasus lapindo dinyatakan sebagai tanggung jawab Negara dan perusahaan. Keputusan tersebut tentunya merugikan Negara namun bisa jadi menguntungkan pihak Aburizal Bakrie dan demokrat. Demokrat dapat mendapatkan kursi di parlemen, sedangkan keuangan dan image ARB tetap aman, termasuk image partai golkar.
Pada kasus tersebut dapat dilihat kurangnya integritas dan tanggung jawab dalam diri seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi presiden. Selain itu keterlibatan beliau dalam kasus-kasus serupa seperti penambangan ilegal dan pengendapan saham juga menunjukkan kurang nya integritas yang mungkin dapt memunculkan masalah-masalah besar jika seandainya beliau menjadi presiden. Jika presidennya saja tidak mampu menanamkan kejujuran , apa yang terjadi pada sistem demokrasi Negara ini yang konon menjunjung tinggi nilai “ jujur dan transparan”?
Beruntung, pada akhirnya Aburizal Bakrie tidak mencalonkan diri menjadi presiden. Mungkin, ada kesadaran diri dari Beliau bahwa elektabilitasnya terlalu rendah dan banyak kasus yang menerjang kiprahnya. Sayangnya, entah motif haus kekuasaan atau motif mulia untuk memajukan negara ini, membuat Beliau memaksa untuk memperoleh posisi sebagai menteri. Dengan bantuan salah satu calon presiden, maka Beliau dipastikan akan menduduki jabatan sebagai menteri utama jika seandainya calon tersebut memenangkan pemilihan presiden. Semoga saja ini merupakan niat tulus dari Aburizal Bakrie untuk membantu Presiden terpilih mengelola negara ini. Sebagaimana ada pepatah, tidak ada rotan akar pun jadi, jika tidak menjadi presiden, paling tidak jabatan menteri utama pun cukup menjanjikan.

Oleh: Prima Utami (Staff div.inspira BP HMF ITB 2013/14)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline