Lihat ke Halaman Asli

Inshan Padillah

Mahasiswa Magister Kemanan Maritim Universitas Pertahanan RI

Laut China Selatan: Upaya dan Langkah Indonesia dalam Menjaga Kedaulatan

Diperbarui: 1 Mei 2024   06:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Konflik di Laut China Selatan

Klaim sepihak yang dilakukan oleh China terhadap wilayah Laut China Selatan semakin menarik perhatian dunia internasional. Coast Guard China, dalam berbagai aksi, menjadi sorotan khususnya baru-baru ini saat mereka melakukan manuver berbahaya yang merusak kapal Coast Guard Filipina dan mengganggu pengiriman logistic pada 5 Maret 2024. (dikutip dari halaman CCN Indonesia).[1] Manuver yang dilakukan menunjukkan eskalasi ketegangan yang semakin meningkat di Laut China Selatan. 

Tindakan semacam itu berpotensi memicu konflik yang lebih besar dan meningkatkan risiko keamanan bagi kapal-kapal yang berlayar di wilayah tersebut. Klaim sepihak China terhadap sebagian besar Laut China Selatan juga menjadi pemicu ketegangan.  Kapal Coast Guard China sering kali mengawal dan melanggar kedaulatan negara-negara yang berada dalam klaim Zona Sepuluh Garis (Ten-dash-line). Nelayan Indonesia mengalami ketegangan saat kapal nelayan China melakukan illegal fishing di perairan Natuna. Kegiatan illegal fishing tersebut dilakukan oleh nelayan China menggunakan kapal KM Kway Fey 10078 yang masuk ke wilayah perairan Natuna secara ilegal. 

Kapal TNI Angkatan Laut berhasil mengidentifikasi 10-12 kapal ikan asing di Natuna di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Kapal-kapal asing itu terlihat sedang menarik jaring ke laut Natuna dan diduga sedang melakukan penangkapan ikan ilegal dengan menggunakan jaring dan pukat harimau.[2]

  

Klaim Sepihak China dan alasan sengketa di Laut China Selatan

China mengklaim wilayah Laut Cina Selatan sebagai bagian dari kedaulatannya dengan mengacu pada "klaim historis". Meskipun ada putusan internasional yang menolak klaim tersebut, China tetap menegaskan klaimnya dan tidak mengakui putusan Pengadilan Arbitrase terkait Laut Cina Selatan. 

Putusan tersebut menyatakan bahwa garis sembilan dash tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan menolak klaim sejarah China di wilayah tersebut. Seharusnya putusan tersebut dihormati oleh semua negara yang terlibat dan menjadi langkah penyelesaian atas klaim China di wilayah laut, termasuk Indonesia.[3]  

Baru-baru ini, China merilis peta standar tahun 2023 yang memperluas klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan dengan menambahkan sepuluh garis putus-putus. Peta ini merupakan perpanjangan dari sembilan garis putus-putus yang sebelumnya digunakan oleh Beijing dan sudah mencakup lebih dari 90% Laut Cina Selatan. Langkah ini memicu protes dari negara-negara tetangga China, yang menganggap peta baru tersebut sebagai upaya untuk memperluas klaim Beijing atas sebagian wilayah zona ekonomi eksklusif mereka di Laut Cina Selatan.[4] 

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan pada konferensi pers rutin pada tanggal 30 Agustus 2023 bahwa "Posisi China di Laut Cina Selatan konsisten dan jelas. Otoritas yang berwenang di China secara rutin menerbitkan peta standar dari berbagai jenis setiap tahun, yang bertujuan untuk membuat peta standar tersedia bagi semua sektor masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan penggunaan peta standar. Kami berharap pihak-pihak terkait dapat melihatnya secara obyektif dan rasional."[5] Pernyataan tersebut sontak menjadi ancaman bagi kedaulatan negara-negara yang telah diklaim wilayah kedaulatannya.

Negara-negara yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan, seperti China, Taiwan, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Malaysia, memiliki tiga alasan utama untuk saling bersaing dalam memperebutkan wilayah di Kepulauan Paracel dan Spratly. Pertama, wilayah tersebut kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak, gas bumi, dan kekayaan laut lainnya. Kedua, wilayah ini merupakan jalur perdagangan internasional yang penting, terutama bagi perdagangan antara Eropa, Amerika, dan Asia. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia mendorong negara-negara seperti China dan negara-negara di sekitar Laut China Selatan, termasuk Amerika Serikat, untuk mengendalikan dan memperluas pengaruh mereka di wilayah tersebut yang dianggap strategis dan sangat menguntungkan secara ekonomis.[6]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline