Maksud judul di atas, tulisan ini sudah kutulis tanggal 27 September 2013 lalu. Lalu kukirim ke media lokal, tapi nggak dimuat :) Kasihan kalau tersimpan manis aja di file emailku. Jadi, kubagi di sini. Semoga tetap bermanfaat.
MACET
Polemik mobil murah yang bergulir akhir-akhir ini, terasa menggelitik untuk dikomentari. Perdebatan mengemuka dari kalangan elite politik hingga rakyat biasa. Pertentangan ini diawali dengan bergulirnya program mobil murah ramah lingkungan,low cost green card(LCGC) pemerintah pusat. Tujuan program ini salah satunya, katanya, agar kalangan menengah ke bawah juga bisa menikmati rasanya punya mobil. Good reason.
Jokowi, Gubernur DKI Jakarta serta merta keberatan dengan rencana tersebut hingga melayangkan surat pada wakil presiden, Boediono. Alasan Jokowi pun masuk akal. Rencana peluncuran mobil murah tersebut bakal menggagalkan kerja keras beliau dalam mengatasi kemacetan parah di Jakarta. Good reason too.
Menanggapi sikap Jokowi, beberapa menteri kompak mengeluarkan statement yang menyudutkan Jokowi. Dan rakyat banyak, sebagian besar melalui dunia maya, sontak kompak membela Jokowi pula. Menarik.
Sebagai warga Sulawesi Utara yang notabene berada jauh dari ibu kota, saya pribadi ikut tergelitik untuk ikut ambil bagian mengomentari polemik ini. Meski urgensinya mungkin abu-abu karena saya bukan warga ibu kota.
Ada hal penting dari peristiwa ini yang mungkin punya hubungan linear bagi kita warga Sulut. Yaitu: kemacetan itu berbahaya, dan berdampak luas. Bukan hanya bisa bikin orang bete karena berbagai aktivitas tertunda akibat terperangkap di jalan, tapi bahkan bisa menyebabkan menteri-menteri dan Gubernur silang pendapat. Bukan hanya bisa bikin stress, menyebabkan kerugian materi, tapi juga membuat program pemerintah (mobil murah) ikutan macet.
Mengamati kemacetan di Jakarta, seorang political analyst, novelist, dan investigative journalist asal Amerika Serikat,Andre Vltchek, bahkan sampai menulis dalam artikel berjudul, “Governor “Jokowi” Enters Jakarta on a Wooden Horse”yang dilansir oleh CounterPunch pada edisi week end 23-25 November 2012. Beliau menggambarkan kemacetan Jakarta sebagai:
Total gridlock, that frightening monster which has been spreading its rigid tentacles all over that broken, depressing and insufficient grid of Jakarta’s driveways for decades, is finally choking the city. People are late for meetings, they die on the way to hospitals, and social life collapses, as nobody is ready to sit for 2 hours each way in a traffic jam, just to have a cup of coffee.
I was just told by Mr. Rachmad Mekaniawan, a civil engineer:
“The other day, I flew from Balikpapan to the capital. The flight itself took only 1h45m. I arrived at Jakarta Airport at 5:45pm. I decided to take a bus to Blok M. The bus was full; I expected that. What I didn’t expect, was that the usual 30 minutes drive would take 5 hours on that day!”
Haduh, itu penilaian orang luar yang terasa panas di kuping saya. Karena meski saya bukan warga Jakarta, tokh Jakarta adalah ibukota republik tercinta ini. Dan buruknya lagi, apa yang disampaikannya tersebut memang sesuai kenyataan.
Kota-kota besar lainnya di Indonesia juga mulai mengarah pada kemacetan luar biasa ini. Katakanlah Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, dan, Manado?
Sebagai seorang yang bukan ahli transportasi, tentu saya tidak memiliki kemampuan untuk mengambil bagian dalam memberikan solusi detail mengenai masalah macet ini. Namun sebagai warga biasa, saya bisa merasakan bahwa kejadian ini juga merupakan peringatan dini bagi kita warga Sulawesi Utara. Hmmm, jujur saja, Kota Manado mulai macet. Berapa tingkat kemacetannya, saya tidak bisa memberikan angka. Hanya saja, sebelum menjadi semakin parah, tentu perlu pembenahan segera.
Apalagi mengingat Kota Manado sebagai salah satu tujuan Pariwisata dengan seringnya event bertaraf internasional yang diselenggarakan di Sulut, tentu akan semakin banyak warga asing yang berkunjung ke kota kita. Tentu kita semua tak ingin kan, ada dari mereka nantinya yang mendapat kesan “macet” atau bahkan sampai membuat artikel yang memberi citra negatif dan kemudian dimuat di media internasional. Jangan sampai.
Tapi masalah kemacetan memang bukan masalah pencitraan semata. Warga lokal, kita-kita ini, memang berhak untuk mendapatkan pelayanan transportasi yang memadai. Dan tak lain dengan tersedianya transportai umum yang nyaman, daya angkut besar, dan aman. Transportasi umum yang bahkan bisa membuat warga “kalangan menengah ke atas” yang punya mobil pribadi memutuskan untuk ikut naik transportasi umum itu saja. Transporatasi umum yang melayani angkutan dalam kota, maupun dari luar kota. Transportasi umum yang memenuhi standar emisi kendaraan dan tidak menambah polusi udara. Transportasi umum yang tentu diimpikan semua warga. Apa impian ini terlalu muluk? Tidak juga, pasti bisa terlaksana asal ada niat dan kemauan dari pemangku kebijakan. Bahkan tentu ini juga adalah impian petinggi Sulawesi Utara. Kapan actionnya? Mungkin sedang dalam proses, tapi jangan kelamaan, jangan tunggu sampai seperti Jakarta.
Karena jika transportasi umum yang seperti tergambar di atas tadi tersedia, tentu akan mengurangi jumlah pengguna kendaraan pribadi, yang nantinya akan berdampak pada berkurangnya angka kemacetan. Jalan mulus lancar, siapa yang tidak mau?
Namun tentu hal ini harus didukung dengan infrastruktur pula, misalnya ukuran lebar jalan. Dan tak kalah penting adalah pengembalian fungsi trotoar yang layak, lebar, dan terawat sebagai tempat pejalan kaki. Agar warga yang bepergian dan tempat tujuan mereka dekat, cukup berjalan kaki saja. Perencanaan ke depan untuk membuat jalur khusus sepeda juga bisa dipertimbangkan. Warga di beberapa negara maju justru menjadikan sepeda sebagai transportasi utama mereka. Mereka paham, berjalan kaki dan bersepeda, bebas polusi dan menyehatkan. Kawasan kampus Universitas Indonesia Depok, bisa dijadikan percontohan. Di sana terdapat jalur sepeda berdampingan dengan trotoar dan jalan utama.
Kalau kita bisa membuat Kota Manado menjadi Kota Pariwisata yang terkenal hingga kemana-mana, kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pembangunan mall serta kawasan perumahan yang berkembang pesat, kenapa kita tidak bisa membuat Kota Manado bebas macet dengan transportasi umum yang mumpuni, semakin indah dan sehat dengan kebiasaan berjalan kaki dan bersepeda warganya? Bisa, pasti bisa.
Jika impian ini jadi kenyataan, pastilah Kota Manado akan semakin harum namanya di tingkat Internasional, dan di hati warganya sendiri. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H