Lihat ke Halaman Asli

Mau Dibawa Kemana Hubungan Kita Ini?

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari yang lalu, saya mendapat pengalaman berharga yang membuat saya akhirnya nekad membuat tulisan ini. Selama ini saya berpikir, beberapa pengalaman kurang menyenangkan yang saya dan beberapa rekan saya alami cukup jadi pengalaman pribadi semata. Pengalaman yang membuat saya jengkel setengah mati, lalu share dengan teman-teman, dan ya sudah! Terlupakan. Bukan hanya terlupakan, tapi juga termaafkan.

Kisahnya seperti ini:

Jumat, 9 Januari 2014. Sekitar pukul sembilan pagi, suami saya mendapat telpon dari sahabatnya. Kami kenal baik sehingga sudah seperti keluarga. Sang sahabat dengan suaranya yang panik meminta untuk bicara dengan saya. Saya bertanya, ada apa. Beliau menerangkan jika istrinya sedang di rumah sakit dan sedang dalam proses persalinan. Karena sesuatu dan lain hal, sang istri tidak bisa melahirkan secara normal dan harus menjalani operasi. Beliau panik dan tidak mengerti mengapa istrinya harus di operasi. Saya bilang, tunggu sebentar, saya segera melaju ke Rumah Sakit tersebut.

Sesampainya di rumah sakit, saya disambut oleh istrinya dengan berurai air mata. Katakanlah nama ibu yang sedang berjuang melahirkan anak pertamanya itu adalah Anisa. Anisa tidak bersedia dioperasi. Dia takut sekali dan tidak mengerti kenapa dia harus dioperasi. Saya bertanya pada dokter yang menanganinya dan mendapat penjelasan kenapa hal tersebut harus dilakukan.

Berdasarkan keterangan dokter saya mengerti alasan Anisa harus menjalani operasi. Dengan hati-hati dan bahasa yang dimengerti Anisa, saya mencoba meyakinkan Anisa dan keluarga kalau tindakan itu memang diperlukan. Ketuban Anisa sudah pecah sejak 12 jam yang lalu, denyut jantung bayi juga sudah meningkat, sementara pembukaan jalan lahir baru 2 cm. Saya juga mencoba membesarkan hati Anisa dan menenangkannya. Mengatakan bahwa insya Allah semua akan baik-baik saja, dan berusaha meyakinkan keluarga yang juga dalam keadaan panik.

Akhirnya, Anisa setuju untuk dioperasi. Alangkah leganya perasaan saya. Keselamatan Anisa dan bayinya adalah di atas segalanya. Maka saya duduk di samping Anisa, sementara suami Anisa menandatangani dokumen yang menyatakan kesediaan mereka untuk dilakukan tindakan operasi.

Namun tiba-tiba terjadi sedikit ketegangan. Suami Anisa, Surya (bukan nama sebenarnya) datang bicara pada saya, "Mbak In, mereka mau saya tanda tangan surat persetujuan untuk pemasangan KB. Saya nggak mau Mbak. Saya dan istri saya sudah sepakat tidak akan KB dulu sekarang. Setidaknya, nantilah dipikirkan. Tidak sekarang."

Saya belum sempat bicara apa pun, namun seorang petugas kesehatan datang dan menyodorkan dokumen tersebut untuk ditandatangani Anisa. Petugas itu datang sambil mengomel panjang lebar. Sementara Anisa hanya meringis kesakitan menahan nyeri yang datang.

"Ibu kan PNS. Pasti mengerti dengan pentingnya KB. Ayo tanda tangan di sini."

"Saya baca dulu ya dokumennya." Kata Anisa lemah.

Petugas itu mengomel lagi dan bilang, "Itu dokumennya panjang sekali. Sudah tanda tangan saja."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline