"Aku cukup berjalan lurus, maka kebahagiaan akan ku dapat"
Itu sepenggal kata yang selalu ku lafalkan setiap berjalan. Kadang aku menoleh kesamping, memandangi kelokan yang begitu tajam. Tidak banyak yang melalui kelokan itu, namun terukir senyuman yang membahagiakan. Kakiku perlahan berhenti di depan bunga yang sangat indah, meraih dan menjadikannya sebuah mahkota. Bersama itu selalu membuatku merasa begitu nyaman.
Mahkotaku kian indah berjalannya waktu, aku tak lagi melihat jalan yang lurus itu. Menikmati setiap kebersamaan bersama mahkotaku, adalah kebahagiaan terbesar. Tak urung, celoteh camar sering ku dengar, bahkan sekarang elang pun memandang tajam pada kami, seolah sebuah lawan yang hendak ia singkirkan.
Aku terus mencoba melindungi mahkotaku, meletakkan di tempat yang aman, hingga gagak pun tak dapat mencium bau nya. Hanya aku dan mahkotaku yang tahu. Jalanan yang lurus kini tak dapat ku lihat, di sinilah aku akan berlabuh, menikmati udara di sepanjang waktu.
Harus ku akui, jalan yang ku pilih ini begitu banyak duri. Namun, karena gagak tak mampu mendengus kami, tak ada satupun duri yang menancap bahkan di ujung kulitku. Berjalan di antara kerumunan semut, menjadi klamufase terbaik untuk menyembunyikan mahkotaku.
Yah.... Inilah kebahagiaan, bahkan derasnya hujan terdengar begitu merdu di telinga. Aku terus berjalan di kelokan ini, hingga sayup2 ku dengar kepakan elang menghampiri ku. Kaki ku keluh begitu saja, tak mampu ku langkahkan ketika elang menyambar mahkotaku dan membawanya terbang di antara dedaunan.
Petir yang tak pernah ku dengar, tiba2 menyambar begitu dahsyatnya. Aku mulai mengejar mahkotaku, mencoba mensejajarkan langkahku di bawa bayangan elang. Duri yang tak pernah menyentuhku kini menancap begitu banyak di kakiku. Jalanan yang merah karena darah yang mengalir dari kakiku tak membuatku berhenti mengejar sang elang, gagak mulai mendekatiku seolah aku akan menjadi bangkai dan siap di santap nya.
Aku berhenti di persimpangan, menatap tepat di manik elang, melawan tatapan tajam yang menghujat. Mahkotaku ada tepat di hadapanku, namun tak lagi sama seperti kemarin. Perlahan air mataku mengalir begitu deras seolah bendungan yang jebol. Luka di kaki yang tak kurasakan, perlahan terasa perih bahkan sangat begitu perih hingga menggetarkan seluruh tubuhku.
Tanganku bergetar meraih mahkotaku, namun di tepis dengan kuat oleh sang elang. Mataku kabur tertutup air mata, meski tak mampu lagi berjalan, namun tetap ku seret kakiku dan melawan tepisan sang elang.
Mulai ku Elus mahkotaku, namun terasa berbeda bahkan terasa retak di setiap sudut maniknya. Ku gelengkan kepalaku seolah tak percaya dengan keadaan saat ini. Mendekap mahkota yang selalu ku jaga, membersihkan setiap debu yang melekat padanya.
Elang terus menarik mahkotaku dengan paruhnya yang tajam. Menutupi dengan sayapnya yang lebar, dan mulai menyuruh gagak mematuk seluruh tubuhku. Lagi, ku lawan gagak dengan sepotong kayu jati yang mulai menjadi serbuk. Perlahan elang hilang dari pandanganku, membawa mahkota dan meninggalkanku bersama ratusan gagak.