Kenyataan yang tinggi itu tidak selama tinggi untuk dikenal lebih dalam, tetapi dengan merendahkan diri dia akan mengerti apa artinya di saat tertinggi | Ino Sigaze.
Sore itu, langit mengabu, seperti menyimpan tangisan yang tertahan. Angin yang berhembus membawa aroma tanah basah, menyatu dengan senja yang perlahan menyusut.
Aku melangkah memasuki halaman gereja dengan langkah perlahan, membawa keheningan dalam batin. Namun, di antara detak waktu yang sunyi, sesuatu jatuh dari ketinggian, terhempas ke tanah. Seekor burung walet.
Tubuh kecilnya gemetar, seakan kesakitan. Ia tampak tak berdaya, dan matanya yang redup menyiratkan kepasrahan.
Dadaku sesak melihatnya. Aku merunduk, meraih tubuh mungilnya dengan kedua telapak tangan, menggenggamnya seperti seorang ibu yang menghangatkan bayinya dalam sarang kasih. "Ayo hidup, hidup..." bisikku lirih.
Sejenak, aku merasakan denyut kecilnya di telapak tanganku. Lalu, tiba-tiba, ia bergerak, memberontak, seakan hendak terbang kembali ke angkasa.
Namun, senja telah menyentuh batas gelap, dan aku ragu. Bagaimana jika ia belum cukup kuat? Bagaimana jika ia terjatuh lagi, hilang dalam pekat malam yang tanpa belas kasihan?
Aku membawanya ke kamar, menempatkannya dalam sebuah kotak kolekte kayu yang telah kosong.
Malam merambat lambat, dan aku sesekali menatapnya dengan rasa cemas. Walet itu bernafas pelan, seakan menyerahkan dirinya pada takdir.
Mungkinkah ia memahami bahwa aku sedang berusaha menyelamatkannya? Atau ia hanya pasrah, seperti banyak makhluk kecil lain yang jatuh tanpa ada yang peduli?