Ternyata, bekal pengetahuan saja tidak cukup untuk menjadi seorang peneliti budaya; dibutuhkan pula rasa dan kepekaan hati | Ino Sigaze.
Nara Krus dikenal oleh kebanyakan orang Maumere, Flores, NTT, sebagai lebih dari sekadar istilah yang berasal dari bahasa Portugis. "Nara" berarti berjaga, sementara "Krus" bermakna salib.
Istilah Nara Krus telah menjadi ungkapan khas dalam budaya kematian masyarakat Sikka, Maumere. Tradisi ini mencerminkan kompleksitas budaya yang tidak monolitik, melainkan kaya dengan keyakinan dan nilai-nilai yang beragam.
Sebagai peneliti muda pada tahun 2006, saya bermodalkan pengetahuan dasar tentang metode penelitian yang diperoleh dari bangku kuliah di jenjang S2 Teologi Kontekstual di Ledalero.
Berbekal dasar tersebut, saya mencoba mempelajari lebih jauh sambil menerapkan secara langsung di lapangan untuk memahami pandangan masyarakat Kampung Kabor tentang Nara Krus.
Modal Dasar Penelitian Budaya
Dalam menjalani penelitian budaya, terdapat beberapa modal utama yang harus dimiliki seorang peneliti:
1. Modal Rasa Ingin Tahu
Modal pertama dan paling esensial adalah rasa ingin tahu (curiosity atau Neugierde). Rasa ingin tahu adalah daya pendorong utama seorang peneliti untuk terus bertanya dan menggali informasi yang belum diketahui namun penting untuk dipahami.
Namun, kenyataannya, rasa ingin tahu tidak selalu hadir secara spontan. Bahkan, meskipun sudah ada daftar pertanyaan penelitian, motivasi mendalam sering kali perlu dirangsang melalui perencanaan yang matang dan alokasi waktu yang jelas.
Oleh karena itu, seorang peneliti harus menyusun kerangka penelitian yang mencakup sasaran, pertanyaan kunci, dan persiapan teknis yang diperlukan.