Kemajuan dunia pendidikan saat ini ternyata tidak luput dari bayang-bayang kekerasan yang masih terjadi di sekolah-sekolah | Ino Sigaze
Meski era reformasi seolah menutup tirai kelam sejarah kekerasan di lembaga pendidikan, kenyataannya, berbagai bentuk kekerasan masih menyusup dalam dinamika harian di lingkungan pendidikan kita.
Kesadaran baru tentang pendidikan tanpa kekerasan (Non-Violence) lahir sebagai angin segar, mengakhiri praktik-praktik kekerasan yang pernah dianggap legal di masa Orde Baru. Kesadaran ini tak hanya menjadi kebangkitan moral, tetapi juga dijadikan dasar hukum yang kuat melalui serangkaian kebijakan pemerintah.
Lahirnya Undang-Undang (UU No. 17 Tahun 2016) merupakan wujud nyata komitmen bangsa ini untuk menjadikan pendidikan sebagai ruang aman bagi generasi mendatang, bebas dari segala bentuk kekerasan.
Bahkan jauh sebelum itu, bangsa ini telah meniti jalan panjang dalam upaya melindungi anak-anak dari tindakan kekerasan, seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang merevisi Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pada dasarnya, visi tentang pendidikan tanpa kekerasan telah tertanam dalam hati para pendiri bangsa ini sejak lama, sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama pada Pasal 20, 21, 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2).
Fondasi hukum yang kuat ini menggarisbawahi bahwa pendidikan kita harus bebas dari kekerasan. Namun, realitas di lapangan sering kali berkata lain.
Pertanyaan yang menggugah hati kita adalah: Mengapa kekerasan masih terjadi di sekolah, dan apa yang harus dilakukan agar sekolah menjadi tempat yang benar-benar aman?
Sejumlah gagasan berikut perlu direnungkan kembali agar pendidikan kita tak lagi mewariskan jejak kekerasan:
Basis Pendidikan Tanpa Kekerasan
Pendidikan tanpa kekerasan harus dimulai dari rumah. Kasih, hormat, dan penghargaan terhadap sesama harus diajarkan sejak dini.