Keheningan monumen Batu La Paga mengajarkan kita tentang menjadi sandaran hidup yang kokoh. Dalam keteguhan dan keanggunannya, kita menemukan literasi jiwa yang menginspirasi dan mengubah hidup | Ino Sigaze.
Siang itu langkah kaki saya sempat terpaku beberapa menit ketika berjumpa dengan sosok batu di pantai La Paga yang tampak seperti begitu anggun menatap ke laut.
Dalam hening itu muncul godaan yang tidak bisa dibendung: Mengadu sambil tanya, siapa yang membuat semua itu? Bagaimana mendirikannya dan apa gagasan dasarnya ketika merencanakan untuk menanam batu itu?
Apakah dia seorang yang sangat perkasa ataukah dengan teknologi apa yang pernah digunakannya sampai batu itu berdiri perkasa sampai sekarang?
Keheningan di Pesisir Pantai La Paga dan Inspirasi Tulisan
Dalam hening tidak ada suara dan jawaban langsung. Pikiranku terbawa sangkaan yang bukan-bukan. Kalau bukan Tuhan, siapa manusia yang membuatnya?
Tak ada monumen batu yang seindah itu. Tak ada imajinasi manusia yang bisa membangun dengan rakitan nalar yang membuat orang membisu.
Ia tidak berdiri sendiri. Ia dikelilingi batu-batu kecil di sekitarnya. Ia ditemani pasir yang putih abu-abu. Ia dikunjungi hempasan ombak dan buih yang pecah dan meresap hilang dari bibir laut.
Keanggunannya tidak pernah terganggu oleh gejolak abrasi di tepi laut. Nalar dan jari-jemariku mulai bergetar ingin melukiskan adanya yang membisu itu.
Saya tergoda ingin mengubahnya agar berbicara meski singkat atau cuma satu kata sekalipun. Tapi, ia tetap membisu meski aku sudah berpantun di depannya saat itu:
Wahai keanggunan yang memesona mata jiwaku, mengapa engkau berada di sini?
Saya ingin memberimu nama monumen batu La Paga yang anggun perkasa menantang abrasi laut. Dari kekokohanmu lahirlah peduli hatiku untuk menulis tentang barisan pesisir laut di utara yang setiap hari dihempas ombak dan merampas jalan-jalan hingga menipis dan hancur.