Lihat ke Halaman Asli

Inosensius I. Sigaze

TERVERIFIKASI

Membaca dunia dan berbagi

Liberalisasi Sistem Parliamentary Threshold, Tantangan Integritas dan Stabilitas Politik

Diperbarui: 8 Maret 2024   10:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liberalisasi sistem parliamentary threshold, tantangan integritas dan stabilitas politik | Dokumen pribadi oleh Ino Sigaze.

Liberalisasi sistem parliamentary threshold hanya merupakan penopang budaya massal yang menyingkirkan budaya berpikir kritis dengan kualitas integritas yang terpuji | Ino Sigaze.

Sorotan topik paling menantang pasca Pemilu 2024 ini tentu saja tentang ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang sebelumnya telah mempunyai regulasi sendiri dan kini dihapus. 

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 menjadi pijakan analisis tulisan ini, atas dasar pertimbangan seperti apa Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kembali gugatan terkait abang batas parlemen 4 % yang telah berlaku sebelumnya pada 29 Februari 2024 lalu?

Gugatan itu mengindikasikan tren penghapusan parliamentary threshold untuk perjalanan demokrasi di negeri ini selanjutnya. Apakah penghapusan itu dianggap paling baik sebagai langkah awal menuju kebebasan demokrasi?

Catatan yang gamblang dilihat dan dibaca publik saat ini jelas sekali bahwa penghapusan ambang batas itu menjadi pintu masuk menuju proses liberalisasi sistem ambang batas parlemen di negeri ini.

Liberalisasi sistem Parliamentary Threshold

Latar belakang penerimaan gugatan terhadap ambang batas parlemen itu bisa saja bermacam-macam, namun sebaiknya orang tidak boleh hanya dengan mudah berpikir bahwa liberalisasi sistem ambang batas parlemen itu menjadi jalan tol mencapai kesempurnaan demokrasi dan kemajuan bangsa ini.

Memang benar bahwa pada satu sisi liberalisasi sistem parliamentary threshold sama dengan membuka kemungkinan partisipasi partai politik sebanyak-banyaknya, namun pada sisi yang lain tidak bisa dihindari bahwa konsekuensi logis dari liberalisasi sistem itu sendiri adalah penurunan kualitas dan integritas.

Belum lagi kalau dihitung dari sisi ongkos politik sudah pasti berdampak lurus dari jumlah partisipasi partai politik. Tentu saja bukan cuma itu, logikanya menjadi seperti ini, jika partai itu semakin banyak, maka semakin membingungkan rakyat.

Muara dari kebingungan masyarakat di TPS misalnya berdampak pada manajemen resiko-resiko gagal yang tidak bisa dihindari. Coba bayangkan saja kalau ratusan calon legislatif dan pemilih harus membuka kertas suara berlembar-lembar. Waktu tersita dan uang terkuras pasti akan menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan.

Jadi liberalisasi sistem parliamentary threshold itu hanya membuka kemungkinan partisipasi tanpa peduli pada efektivitas, integritas dan kualitas berpolitik. Sistem parliamentary threshold itu bukan sebagai peluang afirmasi untuk bebas dari non-involvement.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline