Bangsa ini membutuhkan generasi muda yang cerdas dan teliti dalam mempertimbangkan perbedaan dan kesamaan yang ada. Tidak hanya itu, bangsa kita juga memerlukan kemampuan literasi dan narasi kehidupan yang bermakna, menginspirasi, dan memotivasi. Tentu saja, akan menjadi jauh lebih menarik jika generasi muda kita memiliki kemampuan untuk menyajikan gagasan-gagasan baru yang bisa memengaruhi dunia | Ino Sigaze.
Sorotan topik pilihan Kompasiana kali ini memang patut diapresiasi oleh masyarakat Indonesia, dan para penulis diminta untuk mengevaluasi kembali cara dan metode ujian yang telah berlaku selama puluhan tahun di Indonesia.
Ajakan dari Maudy Ayunda tentu saja patut diapresiasi, bukan hanya karena gagasannya yang mengagetkan banyak orang, tetapi juga karena Maudy bersikap kritis dalam mempertanyakan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dipertanyakan.
Tulisan ini lebih difokuskan pada analisis pandangan Maudy Ayunda yang mengusulkan agar model soal pilihan ganda digantikan dengan model soal uraian dan model lainnya.
Berikut ini kita akan melihat beberapa plus-minus dari soal pilihan ganda. Saya tidak dapat mengatakan bahwa gagasan Maundy itu mutlak benar, tetapi perlu diperhatikan bahwa ada sisi lain yang sudah tertanam di negeri ini.
Ada beberapa sisi positif dari soal pilihan ganda:
1. Peserta diharuskan untuk mencari dan memilih jawaban yang benar
Pengalaman pribadi saya sebagai seorang siswa yang pernah menghadapi soal pilihan ganda di tingkat sekolah dasar, menengah bawah, dan menengah atas memang terasa mudah karena jawaban tampaknya sudah ada.
Namun, kenyataannya tidak begitu mudah karena yang saya cari adalah jawaban yang benar.
Mencari jawaban yang benar dari banyak pilihan tersebut tentu saja memerlukan proses berpikir, yakni berpikir kritis.
Saya teringat akan kata-kata Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, "Hendaklah kamu menjadi berubah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat menguji dan memahami apa yang baik dan berkenan kepada Allah, apa yang sempurna." (Roma 12:1-2).