Wajah pantai alam yang dipoles ombak biru dengan deburan gelombang yang putih memecah hingga ke tepian membasahi batu-batu putih dan hijau selalu membuat orang-orang yang melihatnya membisu.
Terdiam tanpa kata-kata bukan karena kecewa dan malu, tetapi karena merasakan sebuah kenyataan alam yang wajah eksotisnya begitu cepat merenggut rasa lelah dan penat hingga terbuang entah kemana.
Di sana cuma ada kelegaan, kegembiraan dan ketenangan yang bisa datang sendiri dalam sekejap. Orang cukup membuka mata dan menatapnya dalam satu bingkai arah pandang, maka setiap pandangan akan membentuk satu gambaran tentang keindahan yang sulit dilukiskan secara tuntas.
Tumbuhan hijau di pesisir tebing tumbuh tanpa ada rasa takut dan gelisah seperti kebanyakan manusia, mungkin karena terbawa emosi jiwa yang selalu larut dalam bisunya pantai Nangapanda.
Dari kejauhan tampak ada gumpalan putih yang berjejer seperti di dandan ekstra. Kumpulan batu-batu hijau dan putih yang datang tanpa tahu dari mana asal mereka.
Ketika pasang tiba, batu-batu itu terbawa ke pesisir, terkumpul sendiri sebagai bagian dari batu-batu berharga yang akan dipilih dan dijual oleh penduduk yang tidak punya ladang dan tanaman.
Rezeki ternyata bisa datang dari pesisir yang semula cuma tampak indah. Rupanya manusia harus percaya bahwa Pencipta itu maha bijaksana.
Lagi-lagi kumpulan batu-batu itu bukan lukisan dengan latar belakang di kejauhan seperti ada lekukan berbentuk parang dalam budaya Flores.
Lekukan itu adalah wajah pulau Ende, wajah pulau terpisah dengan penduduk mayoritas muslim di sana.
Pulau bersejarah dalam relung legenda perebutan gadis Flores bernama Meja yang cantik memesona dengan pilihan kekasihnya yang tampan, Ia ata masa mina.