Lihat ke Halaman Asli

Inosensius I. Sigaze

TERVERIFIKASI

Membaca dunia dan berbagi

Mentalitas Napa Tena dan Lack of Confidence

Diperbarui: 20 Februari 2023   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mentalitas "Napa tena" dan Lack of Confidence | Dokumen diambil dari foxbusiness.com

Mentalitas masyarakat tertentu sering menemukan afirmasi budaya bersamaan dengan kemajuan teknologi dan juga kemungkinan jalan pintas | Inosensius I. Sigaze.

Dunia perjokian tentu saja bisa diatasi dalam perjalanan waktu, jika saja setiap orang punya kesadaran yang positif terkait betapa pentingnya karya sendiri, berpikir mandiri dan kreatif mengembangkan gagasan dari nalar waras.

Dalam hal ini saya melihat ada celah yang datang dari latar belakang budaya tertentu yang mendukung praktek perjokian kian subur. 

Bahasa dan latar budaya itu bisa jadi ikut berpengaruh secara bawah sadar terkait praktik perjokian lebih-lebih kalau berdekatan dengan kemalasan pada sisi lainnya.

Mentalitas yang datang dari latar belakang budaya itu bisa saja dari setiap budaya di setiap daerah di Indonesia. Buktinya bahwa ada ungkapan khas yang terkait dengan kemungkinan hubungan perjokian.

Napa tena dalam pemahaman budaya Ende, Flores

Dalam tulisan ini, saya mengangkat budaya dan bahasa orang Ende, Flores dengan istilah khasnya "Napa tena". Ungkapan ini selalu berarti "menunggu dan terima bersih saja."

Napa itu berarti menunggu atau menunggu saja, tanpa melakukan sesuatu; sedangkan tena berarti seperti terbuka, menadah. Jadi singkatnya secara harfiah berarti seseorang menunggu saja pada kebaikan orang lain, tanpa ada daya untuk mengkritisi apakah itu baik untuk dirinya atau tidak.

Ungkapan "Napa tena" itu selalu punya konotasi negatif dalam pemahaman budaya kehidupan orang Ende. "Napa tena" itu sama saja dengan menjadi seperti seorang bayi hanya menunggu disuap saja, tanpa ada perjuangan. 

Bayi mungkin lebih baik, karena memang seperti itu keadaannya, ya tidak bisa ada kemungkinan lain, tapi bagi orang dewasa dan berpendidikan, bagaimana mungkin bisa dipahami dengan mentalitas yang hanya menunggu saja.

Mentalitas "Napa tena" itu tentu akan berdampak parah pada pendidikan, jika ada kemungkinan lain yang mendukung mentalitas itu sendiri.

Persoalannya bahwa orang-orang yang terlahir dengan mentalitas "Napa tena" bertemu dengan kehidupan dan budaya lain yang menawarkan sesuatu yang sama persis artinya dengan "Napa tena."

Afirmasi budaya dan fenomena perjokian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline