Penegak hukum mestinya menjadi penjaga martabat bangsa, reformasi ketegasan aparat penegak hukum sudah diambang pintu | Ino Sigaze.
Sejak Agustus 2022 tahun lalu kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat hingga Ferdy Sambo (FS)sebagai tersangka pembunuhan sampai dengan saat ini belum juga selesai.
Pertanyaan yang muncul spontan saat ini tentu saja, apakah lembaga hukum Indonesia itu begitu lemah?
Ataukah pihak kepolisian Indonesia itu kerjanya mempersulit demi menjaga marwah kepolisian itu sendiri?
Apakah ada hubungan keterkaitan FS dengan kasus-kasus lainnya dan orang-orang penting lainnya di dalam lingkup petinggi kepolisian Republik Indonesia?
Coba bayangkan betapa konyolnya aparat hukum di negeri ini. Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh rakyat biasa, mungkin dalam waktu sekejap, polisi bisa menangkap dan pasti tidak lama kasusnya kelar dan pelakunya mendekap di penjara atau dihukum mati.
Ya, selesai tanpa kompromi dan diskusi lanjut. Tapi, lain ceritanya dengan kasus FS. Masyarakat sampai jenuh menunggu kapan selesainya. Kasus itu menadi seperti drama yang berjilid-jilid.
Ada beberapa dampak dari kasus FS yang tidak selesai itu:
1. Kasus FS sudah menjadi drama kejahatan di layar TV Indonesia yang telah menghasut rakyat Indonesia
Kasus panjang dan berbelit itu muncul tidak habis-habisnya di pemberitaan media TV di Indonesia, dampak yang terasa adalah bahwa masyarakat sederhana sampai di desa-desa saja mengenal dan membenci yang namanya FS.
Dalam suatu perjumpaan dan percakapan dengan seorang ibu yang sudah berusia 75 tahun di Flores, tiba-tiba saja ibu itu "saya benci orang seperti FS dan asal saja jangan jadi seperti FS."
Ungkapan spontan itu terasa sekali, bahwa kasus FS sudah menjadi konsumsi seluruh masyarakat Indonesia yang membangkitkan rasa benci masyarakat.
Membiarkan masyarakat Indonesia hidup dalam rasa benci pada figur tertentu yang sebenarnya sudah jelas dibuktikan bersalah secara hukum, itu sama dengan membiarkan virus kebencian itu menyebar tanpa kendali.