Ibuku adalah sang guruku. Ibuku adalah guru kebijaksanaan, guru keadilan, guru kelembutan dan guru kasih sayang | Ino Sigaze.
Sorotan tema sangat menarik dari Kompasiana kali ini telah menyeret saya untuk membisu sendiri di kamar. Tema tentang "Ibuku yang penuh semangat" telah membuka cakrawala baru tentang ibuku yang sederhana dan bagaimana filosofinya tentang perjuangan.
Menulis tentang filosofi perjuangan sang ibu sederhana bukan berarti bahwa ibuku adalah seorang filsuf, tentu saja bukan. Ia bahkan tidak pernah menikmati bangku pendidikan.
Sejarah tentang keterbelakangan Flores, NTT pada 87 tahun silam sudah pasti berbeda sekali dengan cerita zaman sekarang. Hampir tidak ditemukan lagi anak-anak yang tidak menikmati pendidikan sekolah dasar dan menengah.
Filosofi perjuangan sang ibu sederhana itu tidak ditemukan dalam gagasan filosofi yang hebat dengan rincian logika yang sangat filosofis, tetapi sebaliknya ditemukan dalam cara-cara sederhana dalam kehidupan sang ibu hingga sekarang.
Entah kenapa, saya paling suka melihat ibuku saat bangun pagi. Pekerjaan yang dilakukan paling setia sampai di usianya ke 87 saat ini adalah memberi makanan ayam di halaman rumah, persis depan pintu rumah.
Terkadang saya memikirkan hal itu dengan macam-macam pertanyaan, tanpa ibuku tahu bahwa hal itu mengganggu saya. Apakah itu dilakukannya dengan sengaja? Drama apalagi yang dilakukan sang ibu saat pagi hari? Ibuku suka pamer kerajinananya? Kenapa sih begitu?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang sering mengganggu pikiran saya ketika saya berada di rumah dan selalu melihat ibuku memberi makan ayam di depan rumah.
Ibuku memberi makan ayam di halaman depan rumah
Di rumah ibuku punya banyak ayam. Ada ayam yang diternak sejak kecil, tapi juga ada ayam yang diberi orang. Cerita orang memberi ayam bagi orang Flores itu sangat normal.
Kalau saya liburan, biasanya sesuai adat kami di sana, pihak saudari dan keponakan itu datang membawa ayam hidup. Ayam itu sebagai ungkapan hati dan kerinduan mereka untuk bertemu dengan om mereka.