Awal bulan yang menghibur lara, tak hanya sengat dingin dan angin sepoi sepi memupuk raga jadi malas. Di sana cuaca ubah-ubah, tak sabar menghibur yang tua-tua hingga terkurung dalam rumah.
Ini cerita tentang barisan kata dari sepi menunggu kereta di sebuah kota. Enggan memikirkan cuaca di sana, lebih baik kupandang secercah Sinar yang muncul sekejap lalu menghilang.
Tak ingin pula tergoda hawa batin yang tidak pernah puas dengan apa yang ada. Menatap perubahan demi perubahan dalam irama waktu sambil menikmati gemerisik suara kereta barang yang melintas.
Sudah cukup riuh hari hari ini. Aku cuma merindukan secercah sinar yang menyentuh dengan ramah tutur tutur bisu pada layar kaca ini. Aku menulis dalam Terang secercah sinar di terminal tunggu Kereta.
Cahaya dan sinar berpantun malu-malu, muncul dan hilang dalam balutan awan awan di atas kota Mainz. Burung-burung terbang sunyi tanpa siulan yang memesona. Mungkin nasib mereka sama, mencari secercah sinar di musim dingin.
Siapakah yang tidak pernah merindukan secercah sinar dan percikan cahaya di musim dingin? Tidak ada makhluk yang baik di bumi yang bisa menolak sinar dan cahaya.
Secercah sinar dari pesisir kota, dari kisi-kisi balutan awan sepi yang menusuk sum-sum tulang. Kucoba tegar meraih mimpi meski secercah sinar silih berganti. Oh sinar kau bagaikan ilusi zaman metaverse, yang berteman ramah dengan kaca dan transparansi.
Salam berbagi, ino 2.02.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H