Upaya sinkronisasi antara kurikulum prototipe dan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai budaya merupakan peluang yang bisa mengembalikan generasi milenial ini pada rasa cinta akan peradaban bangsa yang sesungguhnya.
Dua topik pilihan Kompasiana kali ini terasa menyengat sendi-sendi realitas kehidupan dan peradaban bangsa Indonesia. Indonesia saat ini berada dalam tapak perubahan yang semakin diperhitungkan dunia.
Perhitungan terkait kemajuan Ekonomi, pembangunan infrastruktur dan tingkat kemajuan Sumber Daya Manusia (SDM) terasa cukup sering menjadi topik keseharian orang-orang di Eropa.
Kesanggupan Indonesia mengatasi krisis covid19 hampir berbanding lurus dengan kesanggupan bangsa ini keluar dari ancaman krisis ekonomi sebagai akibat dari terpaan tanpa ampun dari pandemi.
Meskipun demikian, Indonesia punya banyak tantangan bukan hanya secara global sebagai tantangan bersama seperti krisis covid19 ini, tetapi tantangan lainnya tidak kalah penting untuk ditelisik seperti bagaimana menawarkan kurikulum baru yang kekinian.
Satu tantangan yang diangkat dalam tulisan ini adalah terkait kurikulum prototipe di tengah era Metaverse ini. Apakah kurikulum prototipe bisa menjadi jawaban dari kerinduan bangsa ini agar generasi milenial bisa menjadi generasi yang mencintai negeri ini dengan wawasan kebhinekaannya di satu sisi dan membentuk anak-anak Indonesia hidup dalam keseimbangan antara mencerna dunia nyata dan dunia digital pada sisi lainnya.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya menawarkan kemungkinan hubungan gagasan terkait kurikulum prototipe di era metaverse dan Pancasila. Beberapa kemungkinan hubungan itu antara lain:
Kurikulum prototipe sebagai rujukan untuk kembali kepada Pancasila
Saat ini entah apa saja nama dari kurikulum itu yang paling penting adalah isinya. Prototipe sebenarnya istilah yang muncul dalam kebudayaan Yunani kuno yang disebut Prototypon, dalam bahasa Yunani tua dimengerti sebagai pendidikan pertama (Erste Bildung), pola dasar (Urbild), original atau yang asli.