"Menulis tentang tema yang sulit ternyata punya kepuasan batin yang lebih. Jadilah penulis bebas gender."
Sorotan tema Kompasiana kali ini benar-benar menantang. Bagaimana nggak? Tema yang sangat spesifik terkait kehidupan perempuan - "Seluk beluk menstruasi."
Pertama membaca tema itu, langsung tidak berdaya. Gimana nulisnya ya rasanya terlalu sedikit pengetahuan tentang dunia itu. Cuma ingat penjelasan ibu guru waktu SMP dulu.
Rasa hati juga penuh pergulatan karena berhadapan dengan pertanyaan bagaimana saya bisa nulis tema itu? Berangkat dari pertanyaan itu, saya sebenarnya berterima kasih kepada Kompasiana karena telah membuka kemungkinan menjernihkan perspektif tentang menjadi seorang penulis.
Seorang penulis itu harus bebas gender dong
Penulis bebas Gender dimengerti dalam arti bahwa seorang penulis bisa menulis tentang apa saja, entah itu tentang laki-laki, atau tentang perempuan. Bahkan di Eropa sudah diakui identitas ketiga yaitu divers.
Seorang penulis tidak terikat oleh apapun dan apapun adalah kenyataan yang bisa ditulis. Pikiran inilah yang memberanikan saya coba menulis tema sorotan Kompasiana kali ini.
Nah, dari pikiran itu, saya menjadi sadar bahwa menulis di Kompasiana akhirnya sudah sangat menolong membuka perspektif dan cara berpikir menjadi lebih realistis dan terbuka.
Oleh karena itu, saya sangat kagum dengan beberapa penulis Kompasiana yang pria khususnya langsung dengan cepat menulis tema tentang "seluk beluk menstruasi" itu. Bagi saya itu teladan (Vorbild) tentang seorang penulis yang realistis dan berpikir jernih.
Kebebasan menulis bagi seorang penulis
Kebebasan seorang penulis untuk menulis semestinya tidak dibatasi oleh apapun, ya dia bisa menulis tentang apa saja. Karena itu, seorang penulis tidak seharusnya fokus pada bidang yang menjadi kesukaannya.