Lihat ke Halaman Asli

Inosensius I. Sigaze

TERVERIFIKASI

Membaca dunia dan berbagi

Pasar Sunyi dan Dilema Antara Identitas dan Kebebasan di Tengah Krisis Covid19

Diperbarui: 13 Desember 2021   02:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasar Sunyi dan dilema antara identitas dan kebebasan | Dokumen pribadi oleh Ino

Pasar sunyi, tiada penjual berdiri di sudut pondok-pondok kecil. Lingkaran terdalam di pasar utama dihimpit persyaratan dan kontrol ketat, hingga tiada yang lalu lalang.

Pasar sunyi tanpa penjual, tanpa  pengunjung yang pergi dan kembali ke rumah mereka lagi. Hari Sabtu tidak biasa pasar dihimpit sunyi di musim dingin.

Di pasar-pasar pun tidak terdengar suara pagi. Di sana sunyi....di manakah wahai manusia? Jawaban sama, semuanya karena varian Omicron punya gara-gara.

Pada radius pasar formal tidak ada yang datang lagi, bosan rasanya diperiksa setiap hari. Tak ada lagi warga sendiri. Ya, semuanya bagaikan warga asing.

Omicron mengubah status dan identitas sebagai hal penting ketika mesti bepergian ke pasar sehari-hari. Berwarna-warni gelang tangan pengunjung setiap hari.

Tiada gelang berwarna sama halnya pendatang liar di kota sendiri. Identitas bukan lagi soal registrasi resmi di kantor sipil, tetapi sesuatu yang bisa dibuktikan dengan kasat mata di depan tuan-tuan polisi.

Pihak keamanan kota mondar-mandir tiada henti, menegur tanpa canggung dan malu. Memberi peringatan pada yang tidak taat tata tertib. Identitas mesti selalu dibawa pergi.

Identitas pribadi menjadi begitu penting di setiap lini. Tidak kenal waktu dan tempat untuk sisihkan identitas saat pergi-pergi, cuma satu saat dan ruang tidak perlu identitas pribadi yakni di kamar dan tempat tidur sendiri.

Pasar bebas sudah tidak ada lagi. Di kota ini cuma ada pasar identitas. Pasar produksi gagasan Omicron baru-baru ini. Tak ada protes dan penyangkalan aktual sampai saat ini.

Semua nurut apa kata aturan terbaru beberapa waktu ini. Wajib ini, wajib itu mulai dianggap biasa karena situasi. Yang tidak biasa, bahkan bertentangan dengan hati nurani mulai diterima sebagai yang wajar untuk kondisi terkini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline