Hentikan game jatah dalam urusan proyek-proyek pembangunan!
Umumnya orang mengenal kata "jatah" sejak kecil. Syukurlah kalau ada orang tidak mengenal kata "jatah" itu sejak kecil. Saya sudah kenal kata "jatah" sejak sekolah dasar, ya sejak kecil tentunya.
Jatah berarti bagian yang sudah ditentukan entah berdasarkan kesepakatan tertentu oleh seseorang yang tentunya berasal dari pihak pemberi. Sang ayah mengatakan begini, "Nak, kamu pergi beli pisang satu sisir dengan uang lima ribu rupiah ini, sisanya adalah "jatah" buat kamu."
Sebagai seorang anak hal seperti itu tentu sangat menggiurkan. Anak sejak kecil sudah diberikan pelajaran tentang melakukan sesuatu dengan "jatah" tertentu.
Cerita tentang "jatah" itu tidak hanya ada rumah-rumah lho, tapi ada juga di lingkungan sekolah. Kata sang guru, "Anak-anak bersihkan rumput di halaman kantor ya, nanti kalian dapat "jatahnya."
Jatahnya memang kecil, ya waktu itu cuma permen Union. Jatah itu selalu menyenangkan. Jatah itu selalu memesona mata, hati, dan perasaan.
Bahkan hampir di setiap jenjang pendidikan kata "jatah" tetap selalu disebut. Jatah seakan-akan ada hubungan langsung dengan penyemangat.
Pada tahun 1980-an kata "jatah" itu sudah sangat aktual, bahkan "jatah" itu kata penting. Seorang pegawai di kantor camat pasti punya jatah nanti anaknya juga bisa bekerja di kantor camat sebagai pegawai camat.
Itu jatah ayahnya. Demikian juga seorang polisi yang menjadi Kapolsek di Kecamatan saja, punya jatah bahwa anaknya nanti akan juga jadi seorang polisi.
Cuma anehnya seorang guru, tidak punya jatah untuk anaknya akan menjadi guru. Ini benar-benar aneh, kenapa ya?
Jatah memang kata yang punya makna misteri dalam perjalanan sejarah bangsa ini.