Dersik angin pagi menjamah daun-daun kuning di samping kamar. Dielusnya begitu lembut hingga lelap terbuai seakan dalam pangkuan maharani yang tengah bermimpi.
Penulis-penulis berdiri sambil menatap pohon dan daun-daun kuning itu, menempatkan pena pada samping telinganya. Ada tanya terbersit dari bibirnya, "di manakah buah ranum dari pohon itu?"
Penulis-penulis mengambil sehelai daun kuning yang tengah terbang ke bawah dengan wajah taksa. Ambigu bukan berarti tidak percaya, tapi itu cara penulis-penulis membuka kotak hitam (black box) realitas.
Rasa teduh ada diujung pena penulis-penulis Kompasiana. Khalis gagasan-gagasan mereka, tertuang setiap pagi, siang dan malam, kemarin, hari ini dan nanti.
Hening hatinya kala membaca yang niskala dalam bentangan dunia nyata. Penulis-penulis itu bermimpi bisa menulis apa saja dengan pena dan kata-kata cinta, asa dan iman.
Mimpi penulis-penulis tentang hidup damai dalam serumah, walau berbeda-beda gagasan dan pilihan kata. Diksi bisa punya pijar yang mengubah, asalkan sehari jangan lupa menatap alunan sunyi daun-daun kuning di ruang kontemplasi kita.
Cakrawala bisa dengan mudah menepis gelisah, aksara bisa menjadi kata dan kalimat tentang Kompasiana, gulana bisa saja karena target kalian terlalu menjulang.
Penulis-penulis tiada lelah menoreh kata dengan cinta, kreativitas dan segenap jiwa. Jiwa penulis Kompasiana yang nirmala menginspirasi siapa saja.
Salam berbagi, ino, 4.11.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H