Pendidikan dibutuhkan bukan cuma untuk kemapanan hidup, tetapi untuk keseimbangan hidup di dalam masyarakat.
Sorotan tema pilihan Kompasiana kali ini sangat menarik sekaligus menantang, bahkan bisa juga mengerucut pada dilema antara besar upah pekerja informal dan upah hasil dari pendidikan formal.
Upah pekerja informal dan pendidikan formal rupanya masih punya koneksi arah. Mungkin belum diketahui dengan jelas berapa sih pekerja informal tetapi punya gaji yang besarnya melampaui upah tenaga yang telah menyelesaikan pendidikan formal.
Bahkan tidak sedikit para sarjana yang tidak punya peluang kerja justru tertarik dengan pekerjaan informal, bukan cuma karena kemungkinan begitu mudah mendapatkan uang, tetapi juga karena pekerjaan itu bisa lebih santai, tanpa ada paksaan.
Meskipun demikian, pemerintah perlu mencermati tema tentang upah pekerja informal dengan upah pekerja formal. Rupanya tema itu bisa menjadi kompleks sekali kalau dilihat dalam hubungan dengan kebijakan pemerintah.
Tentu ulasan ini merupakan sorotan dari perspektif pribadi yang berangkat dari kenyataan di lapangan, khususnya di NTT. Penulis lain dari daerah lain, bisa saja punya perspektif lain tentang hal yang diangkat dalam tulisan ini.
Apa itu pekerja informal?
Pekerja informal bisa dimengerti sebagai orang-orang yang tidak punya pekerjaan tetap dan bisa melakukan pekerjaan sehari-hari dengan cara yang beragam tanpa diakui secara formal oleh pemerintah. Oleh karena tidak diakui pemerintah, maka mereka tidak memiliki jatah gaji dari apa yang mereka lakukan.
Jerih payah mereka hanya bisa dihargai secara spontan dari siapa saja. Upah mereka adalah semata-mata karena belas kasihan orang-orang yang menggunakan jasa mereka.
Namanya saja informal, tentu tidak ada standar upah dan juga tidak ada istilah nota pembayaran. Benar-benar informal dan bisa juga berarti suka-suka gue gitu. Gue mau beri apa enggak, itu urusan aku. Bahkan tidak ada seorangpun yang bisa memberikan standar untuk diperhatikan.