Lihat ke Halaman Asli

Inosensius I. Sigaze

TERVERIFIKASI

Membaca dunia dan berbagi

Gara-Gara Ibu, "Ibu Jari" jadi Taruhan. Kok Bisa?

Diperbarui: 16 Maret 2021   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

vectorstock.com

Cerita tentang anak durhaka, atau lebih santernya legenda Malin Kundang rupanya menjadi satu-satunya mitologi yang paling kuat tersimpan dalam ingatan saya. Mitologi Minangkabau, Sumatera Barat itu pertama terdengar ketika saya masih di Sekolah Dasar. Kisah Malin Kundang itu diceritakan oleh seorang ibu guru saya pada waktu itu kira-kira tahun 1985. Di mata saya waktu itu, kisah Malin Kundang adalah kisah penaklukan kemalasan dan kenakalan seorang anak. 

Sejak mendengar dongeng rakyat Malin Kundang, saya selalu ingat ibu saya, bahkan saya diam-diam berniat untuk tidak mendurhakai ibu. Saya punya tekad untuk tidak meniru teladan Malin Kundang, yang setelah menjadi kaya lalu malu mengakui ibunya dan menolak mengenali ibunya yang sudah lanjut usia. 

Dongeng sedih yang mendidik anak-anak agar memiliki budi pekerja, memiliki hati yang peduli, dan tahu menghormati sang ibu apapun rupa dan usianya. Meskipun demikian, cerita tentang anak-anak yang tidak menghormati sang ibu itu bisa ditemukan di mana saja hingga saat ini. Dongeng Malin Kundang itu sebenarnya mengungkapkan kenyataan dunia saat ini. 

Berhadapan dengan anak-anak tentu dongeng Malin Kundang bisa menjadi sarana yang ampuh untuk mengubah cara pandang mereka tentang sang ibu. Pertanyaannya bagaimana jika saya berjumpa dengan kenyataan orang dewasa yang tidak menghormati ibunya. Argumen seperti apa yang dipakai untuk mengangkat kembali nilai menghormati ibu.

Ini sebuah kisah nyata ketika saya beradu gagasan melawan rasionalitas teman saya orang Eropa. Ini hanya salah satu contoh, bahan cerita yang sama bisa juga ditemukan di mana saja. Entah kenapa, kalau saya bicara tentang ibu, teman saya itu selalu punya komentar aneh, bahkan merendahkan melalui kata-katanya. Ibu, ya cuma sebagai ibu, katanya. Refleksi tentang ibu dan apalagi kalau dia bicara tentang ibu, maka hanya akan menjengkelkan saya yang mendengarnya. 

Kebetulan sekali teman saya beberapa orang adalah orang Portugal yang berbicara bahasa Portugis. Suatu hari saya bersama teman itu berdiskusi tentang ibu. Saya memperkenal sebutan terkait ibu dalam versi saya sebagai seorang Indonesia. Saya menyebut kata pertama dalam bahasa ibuku: Ine. Katanya, kata itu saya tidak kenal. 

Lalu saya menyebut kata "mama" , dia spontan bilang: Ya saya tahu itu. Lalu saya mengatakan kata lainnyanya sinonim dari mama, yakni ibu, katanya lagi: kata itu saya belum pernah dengar. Lalu kata terakhir adalah bunda. 

Ketika saya menyebut kata bunda, ia tertawa meledak seakan menertawakan saya. "Kamu tau gak apa artinya kata bunda?" tanya teman itu. Lanjutnya, "coba kamu tanya sama teman orang Portugal itu!" Teman orang Portugis itu sangat santun, bahkan ia tidak mau menjelaskan artinya. Akhirnya, teman diskusiku itu menjelaskan artinya. Ya, artinya dengan konotasi negatif. Saya tidak terbawa emosi, tetapi tetap berusaha rasional sebisa mungkin agar debat kusir kami bisa dilanjutkan.

Benar deh, orangnya menjengkelkan kalau dia bicara tentang ibu. Syukur sih kalau teman-teman belum pernah bertemu dengan orang seperti itu. Selanjutnya, saya mulai berpikir untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Ada 5 pertanyaan yang saya ajukan kepadanya waktu itu, sebagai berikut:

1. Seandainya kamu bertemu dengan ibumu, apa yang kamu lakukan?

2. Seandainya kamu bertemu dengan ibu gurumu, apa yang bisa kamu katakan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline