Sebagian besar orang mungkin pernah mendengar ucapan ini, "Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak." Demikian pula, masuk akal kalau orang berpikir seperti ini, jika saya salah saya harus minta maaf. Sebelum orang meminta maaf, selalu ada pertanyaan ini, yang secara pribadi muncul sendiri: apakah saya salah? Seseorang yang tegas pasti mampu membedakan dan bisa memberikan jawaban yang tepat.
Tentu, pertanyaan menarik adalah apa prinsip untuk membedakan dan memberikan jawaban yang benar? Siapa sih yang tidak suka menjadi orang yang bisa menjawab dengan benar? Meskipun demikian, jangan salah menilai dulu, ternyata pemahaman tentang benar dan salah, ya dan tidak, itu terkait konsep tentang kata "Maaf" yang berakar pada budaya pemahaman seseorang. Saya punya pengalaman seperti ini:
Seorang pria Jerman, tinggi besar, kekar, tegap, memiliki suara lantang buru-buru bertemu saya dan minta maaf. Alasannya, ia salah membacakan nama, yang tertulis itu Petrus, namun ia membaca Paulus dalam suatu acara bersama komunitas, padahal saya sendiri tidak menyadarinya. Bayangkan, betapa jujurnya orang itu. Dari peristiwa itulah, saya tertarik untuk membahas tentang kata "Maaf" Mengapa? Ada beberapa hal yang penting dalam hal ini, tentu terkait budaya dan pemahaman orang:
1. Budaya Kejujuran dalam mengatakan kebenaran harus dipelajari sejak kecil
Mengapa saya mengangkat poin ini? Saya masih ingat beberapa permainan waktu kecil yang mungkin saja ada di mana-mana atau sekurang-kurangnya di kampung saya. Seorang kakak bisa saja menghibur adiknya dengan permainan sembunyi-sembunyi namanya. Ia mengambil beberapa biji jagung, lalu mengenalkan kedua tangannya, dan meminta adiknya menebak pada kepalan tangan sebelah manakah, yang ada biji jagung. Waktu menebak benar misalnya, ada lagi trik untuk supaya tertipu. Ya, dengan bangga sang kakak menyembunyikan biji jagung pada celah-celah jari jarinya. Akhirnya sang adik tidak pernah menang, sedangkan kakaknya selalu bangga, meskipun bohong. Anehnya, sudah berbohong, bangga pula.
Dari kenyataan kecil itu, saya terinspirasi untuk mengatakan bahwa ada banyak permainan rakyat yang perlu dihidupkan dan perlu dijelaskan nilainya. Permainan tanpa penjelasan itu bisa saja berpengaruh secara psikologis. Ya seperti itu tadi, bangga kalau bisa menipu, apalagi bisa menipu banyak orang. Kalau orang sampai pada pemahaman seperti ini, maka kata maaf pasti tidak pernah ada, atau ada cuma untuk bohong-bohong saja. Eh, saya malah berpikir begini, bisa jadi, akar dari korupsi itu adalah orang terbiasa menipu dan bangga kalau bisa berbohong. Bisa juga lahir dari permainan masa kecil yang tidak direfleksikan nilainya. Nah, ini tentu butuh penelitian tentang pengaruh permainan rakyat terhadap psikologi anak dan pembentukan karakternya.
2. Kejujuran itu seringkali kalah karena budaya kesantunan
Pada waktu liburan tahun 2019 lalu, saya pernah melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta api dari Surabaya ke Jogja dan Jogja ke Jakarta. Motivasi saya sederhana, cuma untuk mengalami beberapa perubahan dan kemajuan dunia sarana transportasi di Indonesia. Ya, sangat menakjubkan. Saya bangga dengan kemajuan yang ada. Kedisiplinan waktu berangkat, ketertiban di stasiun, ketenangan di dalam kereta, sungguh nyaman.
Saya duduk dengan sopan pada kursi saya, lalu karena fasilitas kereta itu dilengkapi dengan selimut, maka saya menutupi badanku dengan selimut. Di samping saya ada seorang perempuan, entahlah Mahasiswa, pegawai, gak tahu persis, sebelum perkenalan singkat. Beberapa jam ketika melintasi di wilayah Jombang, saya bertanya kepadanya, "Maaf, boleh tanya gak ya," di sini Jombang? Katanya, "ya di sini namanya Jombang." Maaf ni, boleh tanya lagi gak? Ya, tentu boleh saja, katanya. Kenal gak nama Nurcholish Madjid? Tanya saya sekali lagi. Ya, aku kenal, benar asalnya dari Jombang, tegasnya.
Saya berterima kasih kepadanya, lalu sama-sama terdiam. Gak lama kemudian, karena kecapaian saya meregangkan kaki ke depan, dan ternyata saya menginjak kabel cas perempuan itu, apa katanya, "Maaf Mas, Kabel casku." Oh iya, minta maaf ya, sambung spontan saya. Lalu katanya lagi, ya gak apa-apa Mas.
Sepanjang jalan saya hanya bergulat dengan kata-kata orang itu, bukan karena orangnya cantik dan enak juga diajak bicara. Saya sampai tersenyum sendiri karena heran, saya yang salah, tapi kok dia yang minta maaf sih.