Minggu 11 Agustus 2024 lalu, saya berkesempatan untuk ikut dalam acara jalan-jalan dan ngobrol asyik bersama koteka, vlomaya dan ketapel. Awalnya saya mendapatkan informasi ini ketika melihat Ig ketapel dari salah satu teman saya yakni ibu Denik Erni. Sebenarnya acara ini direncanakan tanggal 3 Agustus 2024 lalu. Namun karena satu dan lain hal acara ini dimundurkan menjadi tanggal 11 Agustus 2024.
Pertama-tama kami berkumpul di taman elektrik yang berada persis di depan masjid raya Al-A'hzom. Dekat dengan pusat pemerintahan kota Tangerang. Alasannya disebut sebagai taman elektrik sangat sederhana yakni, lampu-lampu di taman tersebut akan menyala di malam hari tetapi ketika siang, lampu dipadamkan untuk menghemat penggunaan listrik. Dari taman elektrik, kami mulai menyusuri kota Tangerang menggunakan bus jawara (jalan-jalan wisata kota Tangerang) yang berada di bawah naungan kementerian perhubungan.
Kami berkunjung melihat jembatan kaca yang berada di atas sungai Cisadane. Jembatan kaca ini berada di sisi kiri dan kanan sementara di tengahnya adalah jalan raya biasa yang dapat dilewati kendaraan maupun warga. Untuk menginjak jembatan kaca kita harus melepaskan alas kaki terlebih dahulu. Namun ada sedikit pengalaman menyedihkan di sini. Di jembatan kaca dan sungai terdapat banyak sampah. Secantik apapun tempat wisata tentu saja agak kurang enak dipandang apabila sampah berserakan dimana-mana. Di sana hanya ada satu tong sampah besar di ujung jembatan. Pengalaman yang cukup seru adalah ketika kami bisa melihat segerombolan orang sedang latihan mendayung di sungai Cisadane dengan penuh semangat.
Setelah mengunjungi jembatan kaca, kami pun melanjutkan perjalanan untuk mencicipi kuliner laksa Tangerang. Laksa atau yang juga dikenal dengan sebutan mi laksa, adalah salah satu dari makanan tradisional ternama yang tercipta lewat perpaduan kebudayaan Tionghoa dengan Melayu. Laksa yang saya cicipi sendiri memiliki terbuat dari mi tepung beras putih yang sudah direbus, kemudian ditaburi daun kucai, kacang hijau dan diberi kuah kuning yang kental. Dilengkapi dengan ayam opor yang menggugah selera. Rasanya kental namun tidak terlalu pedas. Aroma khas daun kucai membuat laksa terasa harum dan semakin nikmat.
Setelah mencicipi laksa, kami melanjutkan perjalanan ke kampung berkelir yakni salah satu kampung wisata di Tangerang. Nama kampung berkelir diambil dari Bahasa Betawi yang artinya berwarna. Kami disambut dengan papan tulisan kampung berkelir dan jalanan kampung yang berwarna-warni. Namun beberapa bagian jalan berwarna-warni tersebut mulai pudar warnanya. Beberapa warga terlihat sedang sibuk mengecat ulang jalanan dengan cat warna. Ada pula botol-botol kosong berwarna yang dulunya dijadikan sebagai rumah bibit. Sayang kini botol-botol tersebut kosong karena tidak ada bibit yang bisa ditanam.
Kami pun kembali ke masjid elektrik untuk mengakhiri perjalanan kami. Wisata di kota Tangerang sebenarnya sudah bervariasi tetapi alangkah lebih baik apabila dikembangkan lagi. Seperti mengedukasi masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan, mengajak untuk melakukan ide-ide kreatif, dan lebih mengenalkan kuliner khas Tangerang dengan lebih giat. Terima kasih koteka atas pengalamannya. Semoga pariwisata di Tangerang bisa semakin maju.