Lihat ke Halaman Asli

Historis dan Eksistensi Pendidikan Tinggi Agama Islam di Indonesia

Diperbarui: 12 Januari 2023   14:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK: 5 (LIMA)
1.INNEKE PUTRI SIAGIAN
(NPM. 1901020069)
2.KARTINI
(NPM. 1901020077)
3.KHAIRUN NISA
(NPM. 1901020080)
4.RINI SELVIA MANURUNG
(NPM. 1901020140)
 
PRODI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEMESTER: VII (TUJUH) PAI-B REG
MATA KULIAH: PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISDIKNAS
DOSEN: ASWAN, S.Ag, MM

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR AL ULUUM
ASAHAN -- KISARAN
T.A 2022 / 2023


A. Pengertian Historis
Dalam kamus bahsa Inggris historis berasal dari kata history artinya sejarah, atau peristiwa. Kata sejarah dari bahasa Arab yang berarti pohon. Pengambilan istilah ini agak nya berkaitan dengan kenyataan, bahwa sejarah setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini yang menyangkut tentang, antara lain syajarat al-nasab, pohon genelogis  yang dalam masa sekarang agaknya bisa disebut sejarah keluarga (family history).
Historis adalah asal-usul, silsilah kisah, riwayat, dan peristiwa. Historis merupakan suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek dan latar belakang pristiwa tersebut.

B. Pengertian Eksistensi

Eksistensi berasal dari kata bahasa latin existere yang artinya muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan aktual. Menurut Sjafirah dan Prasanti (2016: 3-4). Eksistensi diartikan sebagai keberadaan. Dimana keberadaan tersebut adalah adanya pengaruh atas ada atau tidaknya kita. Eksistensi ini perlu "diberikan" orang lain kepada kita, karena adanya respon dari orang  yang berada di sekeliling kita ini membuktikan bahwa keberadaan atau kita diakui.

C. Sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
Semangat pembaruan pemikiran Islam di Indonesia muncul pada awal abad kedua puluh. Salah satu pembaruan pemikiran Islam yaitu munculnya gerakan dalam bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan ini, muncul ide-ide pembaruan, seperti lahirnya madrasah yang merupakan lembaga pendidikan yang muncul di era tersebut. Seterusnya terjadinya perubahan dalam sistem pembelajaran, dari sistem nonklasikal menjadi klasikal, diajarkannya pengetahuan umum di madrasah, serta munculnya lembaga pendidikan pesantren modern.
Khusus dalam bidang pendidikan tinggi, pada era tahun 1930-an telah muncul ide untuk mendirikan pendidikan tinggi Islam. Hasrat umat Islam untuk mendirikan pendidikan tinggi sudah dirintis sejak zaman kolonial Belanda. M. Natsir, menyebutkan bahwa Dr. Satiman telah menulis artikel dalam PM (Pedoman Masyarakat) Nomor 15 membentangkan cita-cita beliau yang mulia akan mendirikan satu sekolah tinggi Islam itu akan terpusat di tiga tempat, yakni di Jakarta, Solo, dan Surabaya.
Di Jakarta akan diadakan sekolah tinggi sebagai bagian atas sekolah menengah Muhammadiyah (AMS) yang bersifat Westerch (kebaratan). Di Solo akan diadakan sekolah tinggi untuk mendidik mubalighin. Di Surabaya akan diadakan sekolah tinggi yang akan menerima orang-orang pesantren. Kendatipun yang diungkapkan ini masih dalam bentuk ide, belum menjadi kenyataan, akan tetapi semangat untuk mendirikan perguruan tinggi Islam itu telah muncul pada tahun 1930-an.
Mahmud Yunus, mengemukakan pula bahwa di Padang Sumatra Barat pada tanggal 9 Desember 1940 telah berdiri perguruan tinggi Islam yang dipelajari oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI). Menurut Mahmud Yunus perguruan tinggi ini yang pertama di Sumatra Barat bahkan di Indonesia. Tetapi ketika Jepang masuk ke Sumatra Barat pada 1941, pendidikan tinggi ini ditutup sebab Jepang hanya mengizinkan di buka tingkat dasar dan menengah.
Berdasarkan hal itu dapat dimaklumi bahwa umat Islam sejak zaman kolonial Belanda telah memiliki cita-cita untuk mendirikan perguruan tinggi. Apalagi telah lama berdiri lembaga pendidikan tinggi umum.
Usaha untuk mendirikan PTI terus menggelora di kalangan umat Islam. Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) merupakan gabungan dari organisasi-organisasi Islam, memelopori untuk mendirikan PTI. Untuk itu pada bulan April 1945 diadakanlah rapat di Jakarta yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi Islam yang menjadi anggota Masyumi. Dalam rapat itu hadirlah sejumlah tokoh Islam, seperti:
1.PBNU dihadiri K.H. Abdul Wahab, K.H. Bisri Syamsuri, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Masykur, dan Zainal Arifin.
2.PB Muhammadiyah dihadiri Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mas Man sur, K.H. Hasyim, K.H. Farid Ma'rif, K.H. Mu'thi, K.H. M. Yunus Anis, dan Kerto Sudarmo.
3.PB POI dihadiri K.H. A. Halim dan H. Mansur.
4.PB PUII dihadiri A. Sanusi dan Sumoatmojo.
5.PB Al Islam dihadiri K.H. Imam Ghazali.
6.Shumubu dihadiri A. Kahar Muzakir, K.H. A. Moh. Adnan, K.H. Imam Zarkasi.
7.Cendekiawan Intelektual dihadiri Dr. Sukiman Wirdjosandojo, Dr. Satiman Wirdjosandjojo, Wondoamiseno, Abukusno Tjokrosujoso, Muh. Rum, dan lain-lain.

Berdasarkan daftar nama yang menghadiri sidang ini cukup representatif. Karena dapat dikatakan tokoh-tokoh umat Islam Indonesia telah hadir dalam pertemuan tersebut. Sidang itu memutuskan membentuk panitia perencana STI (sekolah Tinggi Islam), yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan sekretarisnya M. Natsir. Akhirnya atas bantuan pemerintah Jepang STI dibuka secara resmi pada tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1945 di Jakarta. Peresmiannya diselenggarakan di gedung kantor Imigrasi Pusat Gondangdia di Jakarta. Kurikulum yang dipakai adalah mencontoh Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo.

Pada tahun pertama jumlah mahasiswa STI sebanyak 14 orang dari 78 orang pendaftar. Dilihat dari latar belakang pendidikan yang 14 orang itu adalah 11 orang berasal dari lulusan sekolah menengah Hindia Be landa AMS atau HBS dan sederajat. Adapun 3 orang berasal dari ma drasah menengah (aliyah). Adapun sisanya 64 orang diterima ditingkat matrikulasi selama satu atau dua tahun kemudian baru dapat diterima sebagai mahasiswa STI.
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 yang berbarengan dengan itu tokoh-tokoh pendiri STI terlibat langsung pula dalam kancah perjuangan kemerdekaan RI. Dan sekaitan pula dengan munculnya agresi Belanda ke Indonesia untuk kembali menjadikan In donesia bagian dari negeri jajahan mereka, maka ibukota Negeri RI di pindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan pindahnya pemerintah RI ke Yogyakarta, maka STI pun ikut pindah pula.
Pada tanggal 10 April 1946 STI dibuka kembali di Yogyakarta dengan dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Dalam acara tersebut Moh. Hatta menyampaikan pidato yang berjudul "Sifat Sekolah Tinggi Islam." Adapun K.H. Hadjid menyampaikan pidato (kuli ah umum) tentang Ilmu Tauhid.
Untuk lebih meningkatkan efektivitas serta keluasan jangkauan STI, maka muncullah ide untuk mengubah STI menjadi universitas. Untuk merealisasi ide itu dibentuklah panitia perbaikan STI pada November 1947 yang terdiri dari Fathurrahman, Kafrawi, Farid Ma'ruf, Kahar Mu zakkir, dan lain-lain. Keputusan terpenting dari panitia ini adalah mengubah STI menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan membuka empat fakultas, yaitu: Agama, Hukum, Pendidikan, Ekonomi, yang kemudian secara resmi di buka pada tanggal 10 maret 1948 (27 rajab 1367 H). Dalam perkembangan berikutnya, fakultas agama UII ini dinegerikan, sehingga ia terpisah dari UII menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri).

D.Eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia
Perguruan Tinggi Islam dijadikan sebagai wadah dalam memberdayakan umat Islam dalam aspek kehidupan mereka, aspek kehidupan lebih luas dari yang kita pahami apalagi hanya sebatas pada pendidikan Islam sebagai membina generasi yang ahli agama. Dalam sejarahnya, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) merupakan upaya memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat akan pendidikan tinggi Islam, bukan hanya sekedar akomodasi penguasa atas kelompok Islam, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) diharapkan mampu mewadahi kebutuhan, peran dan keberadaan masyarakat muslim dalam berbagai aspek kehidupan yang beragam. Perubahan sosial, ekonomi, politik, pemahaman keagamaan, pergeseran nilai dan pola hidup yang dinamis terus berkembang secara masif sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) untuk menjawab perubahan tersebut. seperti pengembangan Fakultas Agama Islam menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Kemudian harapan masyarakat lainnya mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) untuk mendidik pegawai negeri dilingkungan kementrian agama agar menjadi ahli agama.[9] Hingga akhirnya penyatuan antara STAIN dan ADIA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan berkedudukan di Yogyakarta.
Tantangan baru IAIN menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang mampu menjawab tantangan global, menghadapi masyarakat yang semakin kompleks, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, menuntut IAIN kembali untuk menterjemahkan tantangan dan peluang tersebut, ide dan gagasan transformasi IAIN menjadi UIN akan membutuhkan perjuangan yang sangat berat, akan menghadapi pro kontra di masyarakat. Berangkat dari berbagai permasalahan yang dihadapi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) seperti berkurangnya minat masyarakat untuk memasukkan anaknya di program keagamaan, pola hidup masyarakat yang mengarah kepada kebutuhan ekonomi dan kerja, lulusan-lulusan program agama dianggap belum mampu bersaing dalam dunia kerja dan berbagai permasahan lainnya. Untuk menjawab perubahan masyarakat global, dunia kerja dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) harus pula merubah orientasi dan visi pengembangan keilmuan serta mampu menangkap peluang kekinian, Gagasan IAIN untuk menjadi UIN adalah awal untuk menjadikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mampu bersaing di era global.

E. Transformasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Dari IAIN Menjadi UIN
Kajian transformasi IAIN menjadi UIN sudah lama menjadi keinginan beberapa pihak. Kondisi ini yang menyebabkan kemudian ada beberapa IAIN mentransformasikan diri menjadi UIN. Alasannya bukan hanya sekedar perubahan status lembaga, melainkan karena memiliki orientasi untuk dapat memiliki mandat yang lebih luas, wider mandate, untuk mengembangkan fakultas dan program studi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Selain itu juga agar ada keunikan tersendiri bagi masing-masing UIN ketika melihat di dalamnya terdapat pola-pola yang berbeda dalam merekonstruksi keilmuan.
Transformasi IAIN ke UIN merupakan siklus dan bentuk dinamika yang terjadi secara dinamis. Sejak didirikannya, PTKI yang struktur organisasinya berada di Kementerian Agama, memang cukup dinamis dalam merespon perkembangan zaman dengan melakukan proses transformasi lembaga.
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam transformasi, diantaranya:
1.menjadikan alumni UIN dapat merespon kebutuhan realitas serta mampu berdialog dengan zaman.
2.melakukan transformasi kelembagaan tanpa harus menghilangkan nilai pendidikan Agama Islam (Islamic Studie).
Munculnya ide transformasi IAIN menjadi UIN pada pembuat kebijakan di pendidikan tinggi keagamaan Islam sebenarnya didasari semangat mengembalikan kajian Islam yang lebih komprehensif dengan disiplin keilmuan lebih luas yang tidak hanya membahas disiplin ilmu agama, tetapi juga membahas integrasi ilmu sains yang bernuansa keislaman, seperti psikologi, komunikasi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya.
Beberapa alasan mengapa perlu dilakukan transformasi IAIN ke UIN adalah sebagai berikut:
1.Tuntutan dan kebutuhan era global yang bisa mendegradasi peran lulusan IAIN jika hanya mengkaji ilmu-ilmu keagamaan.
2.Menghilangkan dikotomi ilmu sains dan agama yang pada akhirnya mengakibatkan perilaku hidup sekuler dengan yang menempatkan agama sebagai urusan pribadi.  
3.Kebutuhan stakehholders pendidikan tinggi keagamaan Islam karena sebagian besar orang tua termasuk dosen IAIN banyak menyekolahkan anaknya di luar IAIN.
Alasan lain latar belakang transformasi IAIN menjadi UIN dalam rangka mendorong hal-hal sebagai berikut:
1.Islam moderat di Indonesia dan deradikalisasi.
2.peningkatan akses pendidikan tinggi Islam di berbagai wilayah.
3.APK Nasional pendidikan menengah masih cukup rendah.
Transfomasi IAIN menjadi UIN diyakini akan membawa dampak positif: Pertama, keberadaan UIN mampu menyelesaikan masalah dualisme sistem pendidikan dan dikotomi keilmuan yaitu ilmu agama dan ilmu sains; Kedua, keberadaan UIN secara kelembagaan akan mampu mengembangkan dan menggabungkan ilmu-ilmu agama Islam dan sains modern; Ketiga, keberadaan UIN dapat meningkatkan minat, daya tampung dan daya saing mahasiswa karena   dengan biaya relatif murah tapi berkualitas.
Transfomasi IAIN menjadi UIN diyakini akan membawa dampak positif: Pertama, keberadaan UIN mampu menyelesaikan masalah dualisme sistem pendidikan dan dikotomi keilmuan yaitu ilmu agama dan ilmu sains; Kedua, keberadaan UIN secara kelembagaan akan mampu mengembangkan dan menggabungkan ilmu-ilmu agama Islam dan sains modern; Ketiga, keberadaan UIN dapat meningkatkan minat, daya tampung dan daya saing mahasiswa karena   dengan biaya relatif murah tapi berkualitas.
Transformasi IAIN menjadi UIN merupakan hal penting dan mendesak untuk dilakukan agar dapat berimplikasi terhadap pengembangan kajian keilmuan yang komprehenship tanpa ada dikotomi keilmuan sebagai wujud kesadaran umat Islam untuk menyatukan dualisme keilmuan, yaitu ilmu keislaman dan sains.
Dasar transformasi IAIN menjadi UIN juga mengacu pada kesadaran yang futuristik umat Islam di Indonesia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan zaman yang begitu cepat. Transformasi Pendidikan Tinggi Islam merupakan rangkaian tahapan menuju visi dan misi pendidikan Islam sebagai berikut:
1.Perluasan Akses Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam;
2.Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya Saing Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam;
3.Penguatan Sistem Tata Kelola dan Akuntabilitas PTKI,
4.Pengembangan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam berbasis Integrasi Ilmu dan Moderasi Islam.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa transformasi IAIN menjadi UIN merupakan langkah strategis dalam rangka pengembangan kelembagaan dan meghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan dan menegaskan bahwa baik ilmu sains maupun ilmu agama berasal dari Tuhan Yang Satu. Transformasi IAIN menjadi UIN merupakan lambang sejarah perubahan (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) PTKI yang berjalan dinamis yang banyak dipengaruhi oleh latar belakang agama, budaya, nilai, dan struktur sosial di masyarakat, dalam rangka menjadikan ilmu agama sebagai media kritis dan transformatif dalam menjawab perkembangan zaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline