Lihat ke Halaman Asli

Inneka Elok

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan

Desakan RUU PKS Sebagai Bentuk Dukungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual

Diperbarui: 1 Desember 2021   20:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

      Isu kekerasan seksual di Indonesia hingga kini menjadi perbincangan hangat yang kian merebak. Kekerasan seksual adalah hal penting yang harusnya menjadi concern pemerintah sepertinya dianggap sebelah mata. Keberpihakan negara atas kasus ini sejatinya adalah andil besar dalam perlindungan kepada masyarakat, khususnya mereka yang menjadi korban dari adanya kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini. Pemerkosaan, pelecehan, pencabulan dan bahkan masih banyak lagi bentuk kekerasan seksual lainnya yang sudah memakan banyak korban.

    Seperti yang telah diungkapkan oleh salah satu pekerja seni yaitu Cinta Laura saat menjadi bintang tamu di Mata Najwa yang dipandu oleh Najwa Shihab. Cinta yang merupakan duta Anti Kekerasan Seksual mengungkapkan bahwa korban kekerasan seksual akan mengalami trauma dan berdampak secara psikologi meskipun telah dilakukan penanganan namun memori itu akan selalu ada.

     Cinta Laura mengungkapkan bahwa pemerintah Amerika Serikat memberikan penanganan hukum secara gratis kepada korban kekerasan seksual disana. Korban akan diberikan penanganan secara mental, emosional dan secara fisik. Peran negara dianggap maksimal saat korban dilindungi dan mendapat perlakuan yang seharusnya. Di Indonesia dianggap belum maksimal dalam memberikan sebuah perlindungan hukum terhadap korban. Lihat saja saat kasus pelecehan oleh oknum KPI yang hilang entah kemana kasusnya sampai sekarang.

     Desakan masyarakat kepada pemerintah terhadap pengesahan RUU PKS (Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) semakin getol dilakukan. RUU PKS dianggap sangat men-support korban kekerasan seksual dengan memberikan pendampingan, penanganan, dan pemulihan. The Body Shop Indonesia, Yayasan Pulih, Magdalene, Makassar International Writers Festival, dan Yayasan Plan International Indonesia menyesalkan adanya perubahan pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang keluar dari substansi dan semangat utama untuk melindungi korban kekerasan, terutama perempuan dan anak. Gabungan organisasi itu pun menyerukan kepada DPR untuk mengembalikan RUU PKS seperti tujuan awal, yakni melindungi korban kekerasan seksual.

     Masalah kekerasan seksual menjadi tanggung jawab bersama, baik bagi laki-laki maupun perempuan harus terlibat aktif dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual melalui kolaborasi support system antar pihak.

Oleh karena itu, diperlukan hukum untuk dapat memberikan jaminan bagi penyintas kekerasan seksual. RUU PKS dinilai sebagai bentuk implementasi keseriusan pemerintah dalam menangani setiap lonjakan kasus yang terjadi.

Dalam RUU PKS, korban kekerasan akan menerima penanganan, perlindungan, serta pemulihan untuk membantu korban agar menjadi lebih baik, juga diatur mengenai pencegahan, tanggung jawab negara dan partisipasi masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan terlindungi.

     Lewat keterangan tertulisnya, mereka menyatakan keprihatinan yang didasarkan kepada naskah baru RUU PKS pada 30 Agustus 2021, di mana memuat banyak perubahan mendasar.

Dilansir melalui liputan6.com bahwa RUU PKS dinilai memiliki 3 sasaran yaitu :

  • Mencegah segala bentuk kekerasan seksual. Menangani, melindungi, dan memulihkan korban.
  • Menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
  • Menindak dan memidanakan pelaku seperti yang tercatat dalam Modul Komnas Perempuan.

     Perubahan nama yang semula RUU PKS menjadi RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) juga menjadi persoalan yang terus disuarakan. RUU TPKS dinilai lebih concern kepada ranah hukum saja. Di Indonesia, jika ada kekerasan seksual maka korban seakan-akan yang disalahkan bukan pelakunya. Berbeda halnya dengan pemerintah England yang beberapa tahun lalu ada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga dan merupakan seorang Warga Negara Indonesia. Ia didakwa atas kekerasan seksual yang melibatkan banyak korban tersebut dan menjalani hukuman seumur hidup. Saat kasusnya naik ke permukaan, Reynhard menjadi hideline news dan wajahnya terpampang di media UK. Sedangkan korban mendapat privilage dari pemerintah dengan menyembunyikan identitas mereka agar tak diketahui publik. Di Indonesia sepertinya hal tersebut masih kurang karena jika dilihat lebih jauh lagi korban seakan yang bersalah dalam kasus ini.

    Lalu apakah yang mendasari hal tersebut bisa terjadi dan terus berulang. Apakah budaya patriarki menjadi sebab dari adanya kekerasan seksual. Mayoritas masyarakat yang seakan tidak mengerti mengenai isu ini maka bagaimana mereka perduli terhadap kekerasan seksual. Korban yang dianggap memiliki kecacatan sosial akan berdampak pada generasi selanjutnya yang terus dihantui oleh rasa trauma. Anggapan bahwa budaya patriarki yang masih kental terasa rasanya tak etis bila terus menerus diterapkan. Edukasi yang gencar diberikan sepertinya akan membawa pengaruh baik untuk bisa mengurangu bahkan mencegah adanya kekerasan seksual di Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline