Meski hujan lebat disertai angin kencang mengiringi sepanjang jalannya kegiatan. Alhamdulillah kegiatan Selasar berjalan lancar hingga selesai. Rabu (21/3) malam pukul 19.30 Wita, ruang baca Pena dan Buku kembali mengadakan Selasar yang ke 21.
Selasar singkatan dari sharing pengalaman di pasar, sebuah kegiatan diskusi mengenai topik terhangat di kota Balikpapan dengan melibatkan narasumber yang berpengalaman di bidangnya. Selasar kali ini berbeda dari biasanya karena tidak diadakan di pasar namun di Gedung Parkir Klandasan, karena jumlah peserta yang hadir membludak.
Tema yang diangkat adalah "Quo Vadis Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Kota Balikpapan" dengan narasumber para profesional yang berpengalaman di bidangnya yaitu ; Piatur Pangaribuan selaku praktisi hukum dan Rektor Universitas Balikpapan, Sri Wahjuningsih selaku Kepala Dinas P3AKB Balikpapan, Kompol Rindu dari Subdit Renakta Polda Kaltim, Dwita Salverry selaku ketua Himpunan Psikologi Balikpapan.
Selasar 21 adalah kelanjutan Selasar sebelumnya yang berbicara tentang kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Kedua selasar ini dipantik oleh kasus Pandu, pemuda Balikpapan yang dikenal sebagai pemuda ramah, cerdas, dan membanggakan kota Balikpapan dengab segudang prestasi hingga level internasional.
Pandu adalah presiden Green Generation Indonesia, sebuah organisasi anak dan remaja bidang lingkungan. Dia ditangkap karena kasus pelecehan seksual kepada anak di bawah umur. Tersangka Pandu ditangkap di Jogja 16 November 2017, terdapat 9 korban usia 12-16 tahun yang menjadi korbannya Pandu. Tanggal 16 maret 2018 Pandu bebas dari tahanan, meskipun ia tetap berstatus tersangka. Hal ini dikarenakan masa penahanan 120 hari telah habis namun ia tidak kunjung disidangkan.
Ada apa ini ? Apa karena tidak terlaksananya uji lie detector sehingga pandu bebas ? Masyarakat bertanya tanya, dan butuh penjelasan yang jelas. Semalam Polda Kaltim diwakili oleh Bu Rindu membenarkan bahwa dari pihak kejaksaan meminta ada uji lie detector karena dari hasil visum tidak terbukti, ini bisa jadi karena luka korban sudah pulih. Namun sayangnya tersangka menolak dilakukan lie detector sehingga kasus tidak bisa dilimpahkan ke kejaksaan.
Meskipun judul dari Selasar adalah kekerasan seksual terhadap anak secara umum, namun audiens tetap fokus ke kasusnya pandu. Audiens merasa bahwa apa lagi yang kurang dari kasus ini. Tersangka sudah ada, korbannya juga ada, pengakuan dari tersangka dan korban juga sudah ada. Tapi kenapa proses hukumnya berbelit2 dan lama, malah sekarang akhirnya Pandu lepas tahanan ?
Memang hukum di Indonesia berbeda dengan hukum di Amerika, ambil contoh kasus Larry Nassar yang telah dijatuhi hukuman 40-175 tahun penjara setelah mendengar kesaksian 160 korbannya. Namun bukankah tetap bermuara yang sama yaitu keadilan!
Menurut Ibu Dwita, proses hukum sebenarnya bukan memuaskan korban tapi itu untuk memuaskan keluarga korban. Dalam ranah hukum setelah tersangka dipenjara maka itu sudah selesai, tapi dalam ranah psikologi itu belum selesai. Trauma korban akan dibawa bisa sampai seumur hidupnya. Hal mengejutkan adalah data yang menunjukkan bahwa 80% pelaku adalah korban.
Data ini sebenarnya harus dibandingkan dengan berapa persen korban yang akhirnya menjadi pelaku ? Karena ada juga korban yang malahan fokus memulihkan traumanya daripada memilih melakukan hal yang sama ke orang lain. Ibu Dwita juga menambahkan bila pelakunya anak dan perempuan maka dia dianggap jadi korban.
Upaya pencegahan juga harus berbanding lurus dengan upaya mencari akar permasalahannya, pada umumnya hal ini karena faktor ekonomi dan hubungan anak dan orangtua tidak positif jelas Pak Rektor Uniba. Bagaimana mungkin anak betah di rumah, bila di rumah miskin pujian kaya cacian, miskin penghargaan banyak tuntutan anak akan ebih memilih ke luar rumah.