Pasar Klandasan. Aku mengenang tempat ini tidak hanya sebagai tempat ayah berjualan. Lebih dari itu aku mengenang tempat ini sebagai tempat ku menemukan keluarga, tempat ku tumbuh, tempat ku menemukan bakatku.
Dua puluh tahun lalu, ketika usiaku 8 tahun seorang pemuda datang ke pasar untuk membuka kedai kopi. Cukup aneh menurutku, karena kebanyakan penyewa kios menggunakan kiosnya untuk usaha servis hp, jual perlengkapan kosmetik, jual perlengkapan rumah tangga atau usaha salon seperti jejeran kios di sebelah kios hp punya ayahku.
Pasar Klandasan waktu itu sedang lesu, tidak seramai seperti tahun tahun sebelumnya. Semenjak kehadiran pusat perbelanjaan dan ratusan ruko yang menjamur di kota Balikpapan, pedagang yang bermodal sedikit seperti ayah harus tergusur sampai ke belakang pasar. Menanti mukjizat ada pengunjung yang mau blusukan hingga ke belakang, kerena di area depan sudah banyak juga kios servis Hp. Ayah hanya sanggup menyewa kios belakang, uang tabungan sudah dipakai untuk pengobatan ibu.
Dahulu kata ayah, dari hasil dagang di pasar ayah bisa membeli rumah dan motor, bahkan bisa membangunkan rumah untuk nenek di kampung. Namun sekarang untuk bisa makan sampai besok saja sudah syukur. Kata ayah hidup seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Aku mengiyakan saja pernyataan itu, meski belum memahami makna sebenarnya
Sepulang sekolah aku selalu melewati kedai kopi itu. Pemiliknya bernama Abi, aku berkenalan dengannya ketika aku menemani ayah minum kopi di kedai. Aku memanggilnya Om Abi. Ayah suka sekali ngobrol dengan Om Abi. Kata ayah Om Abi adalah pemuda berani dan penuh idealisme, belum pernah ada orang yang mau buka kedai kopi dengan kualitas biji kopi yang bagus di pasar Klandasan. Orang mengenal pasar klandasan adalah pasar sayur dan ikan, banyak toko emas, pusat servis hp, toko buku pelajaran, pusat perabot rumah tangga atau salon.
Pada waktu itu kedai kopi banyak bermunculan di Balikpapan, mereka menempati ruko ruko yang kemudian dihias dengan lampu lampu warna kuning seperti lampu di kamar mandiku. Suatu kali aku bertanya ke om Abi, kenapa dia buat kedai kopinya di pasar, kenapa tidak seperti teman temanya yang buka kopi di tempat bagus. Om Abi menjawab "om senang di pasar, banyak teman, ramai, banyak orang lalu lalang, bisa ngobrol sama banyak orang. Lagipula kalau semuanya buka kedai kopi di ruko atau di mall, nanti siapa yang buatin kopi enak buat bapak bapak pedagang disini" jelasnya tersenyum. Aku mengiyakan jawabannya, memang kata ayah kopinya Om Abi beda dengan kopi di warung kopi biasanya. "Ini baru kopi" begitu kata ayah ketika pertama kali menyeruput kopi buatan Om Abi. "Lha terus kopi bungkus yang selama ini ayah minum isinya bukan kopi yah"? tanyaku. "bukan itu cuma serbuk aroma kopi hahaha" jawab ayah santai.
Aku suka bau kopi. Setiap pagi itulah yang kuhirup di rumah. Bau kopi ayah yang diseduh ibu selalu membangunkanku. Entahlah hidung ku ini kurasa seperti hidung kucing yang meski tidur selalu bangun ketika mencium aroma ikan goreng, begitulah apa yang kualami dengan aroma kopi. Setiap melewati kedai kopinya Om Abi, aku selalu berjalan lamban bahkan terkadang aku terdiam berdiri di samping kedainya. Menikmati bau kopi. Merindukan ibu.
Selang beberapa bulan, dua perempuan cantik berkerudung membuka kios buku tepat di sebelah kedai kopinya Om Abi. Namanya Tante Yusna dan Tante Inne. Awalnya kukira kios buku ini serupa dengan kios kios buku di dalam pasar. Jualan buku buku pelajaran dan buku buku agama, tetapi ternyata bukan. Kehadiran mereka bukan untuk jualan buku ternyata, tetapi untuk berbagi buku. Beragam jenis buku ada di kios buku yang bercat biru seperti warna laut yang terbentang luas di depan kios ku, dengan rak rak buku berwarna kuning cerah. Buku buku yang tersedia awalnya tidak ada buku khusus untuk anak anak, semuanya untuk dewasa. Ada buku psikologi, kesehatan, sastra, buku novel seperti supernova yang baru ku baca ketika SMP.
Namanya Pena dan Buku, begitulah tulisan yang tertera di plang yang terpasang di depan kiosnya Tante Yusna dan Tante Inne. Pertama kalinya aku mengetahui bahwa selain perpustakaan sekolah ada tempat yang bisa membaca dan membawa pulang buku gratis. Aku pernah ke toko buku di mall, aku penasaran sekali dengan buku cerita yang ada di toko buku itu, lalu ku sobek plastiknya dan aku ditegur oleh karyawan toko buku itu. Ayah malu karena perbuatanku, akhirnya buku itu terpaksa dibeli ayah, padahal aku tau saat itu uang di dompet ayah hanya selembar gambarnya Bung Karno dan Bung Hatta. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi ke toko buku itu. Aku takut tidak bisa menahan rasa penasaranku terhadap hamparan buku cerita dengan sampul warna warni menarik hati.
Tante Inne memperkenalkan bahwa kios buku yang mereka punya adalah ruang baca, ruang penitipan buku dan tempat jual beli buku bekas. Bebas baca sepuasnya dan bila meminjam buku tulis di buku peminjaman. Semudah itu ternyata. Setiap pulang sekolah kegiatanku dan teman teman main di ruang baca mulai dari membaca, mewarnai, bermain origami, sampai bermain uno, aku dan teman teman menganggap ruang baca ini adalah basecamp kami. Tempat paling nyaman sedunia begitu kata Iman, temanku.
Suatu sore, Tante Inne mengabarkan sabtu sore akan ada acara dongeng. Aku dan teman temanku hadir di sabtu sore yang cerah, kukira tidak jadi karena sebelumnya hujan besar di Klandasan, jalanan pasar becek dan banyak genangan air. Tetapi ternyata Kak Fanni dan Kak Nina tetap hadir mendongeng. Mereka membawa boneka tangan binatang yang bentuknya lucu sebagai alat peraga.