Lihat ke Halaman Asli

Walikota Bukan Raja, Anda Harus Tahu Itu!

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin banyak fenomena-fenomena menarik di era pemilihan kepala daerah langsung di Indonesia, bila kita amati, dewasa ini. Ada fenomena yang positip dan perlu dicontoh. Tapi ada pula fenomena aneh dan dan kesannya lucu-lucuan.

Di alam pemerintahan kerajaan, dulu, raja adalah hukum itu sendiri, di samping ada hukum yang dipahami bersama. Artinya, seorang raja, apapun yang akan diperbuatnya, tak akan memperoleh perlawanan yang jelas. Maka, ada raja yang dikatakan baik, ada raja yang dikatakan tidak baik. Baik dalam sikap maupun dalam memimpin kerajaannya. Beda lagi dengan raja si zaman sekarang. Yang cenderung hanya sebagai simbol pemersatu.

Terlalu amat jauh lagi kalau kita bicara tentang raja dan walikota. Walikota bukan raja. Karena walikota diangkat bukan karena keturunan, tapi karena andil bersama. Maka dia disebut sebagai pejabat publik.

Ada hukum yang mendasari seorang walikota dalam menjalankan jabatannya. Jadi, apapun yang akan diperbuatnya, harus berdasarkan hukum yang jelas. Meskipun hal kecil itu baik menurutnya, tapi tidak didasari hukum, tetap saja dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Sebagai contoh, ada daerah kota di Sumatera Barat ini, membangun median jalan di tengah kota, dengan harapan agar peristiwa kecelakaan di jalan diminimalkan. Namun karena melupakan ada hukum lain yang mengatur tentang pemasangan median yang terabaikan, persoalannya menjadi panjang. Sampai ke penyidik Tipikor Kepolisian.

Di era sekarang, seorang walikota berlomba-lomba mengeksiskan keberhasilan dirinya. Ada yang melalui media. Dan ada yang melalui kegiatan pengumpulan penghargaan-penghargaan. Dari sisi pemerintahan yang dipimpinnya, dia pasti menyatakan, pemerintahannya berhasil. Ditandai dengan banyaknya penghargaan yang diterima. Tapi apakah penghargaan itu indikator keberhasilan ? Tunggu dulu ! Dari segi masyarakat, apakah kesejahtreraan masyarakat yang dipimpinnya naik signifikan selama kepemimpinannya ? Masih bisa diperdebatkan.

Salah satu fenomena menarik di banyak daerah kota dan kabupaten yang terjadi belakangan ini adalah kegiatan memindah-mindahkan pegawai dalam sebuah jabatan. Ada yang disebut mutasi, rotasi, demosi dan lain sebagainya.

Birokrasi adalah mesinnya pemerintahan. Jika birokrasi salah urus akan menghasilkan pemerintahan salah urus.

Kebanyakan figur yang menjadi Kepala Daerah adalah orang-orang yang latar belakangnya bukan dari orang-orang yang ‘berlatar’ pemerintahan. Sehingga di awal-awal ‘belajar’-nya sebagai pemimpin pemerintahan daerah, cendrung dikuasai ‘oknum-oknum’. Kadang oknum-oknum ini terpolarisasi bagai mafioso. Kepala Daerah yang sedang belajar ini sering menghadapi dilema dan terjebak di antara kepentingan mafioso dan kemauan belajar.

Di sebuah daerah kota di Sumatera Barat ini, fenomena salah urus inilah yang sedang terjadi. Akibat terlalu seringnya kegiatan memindah-mindakan pegawai dalam sebuah jabatan. Dengan banyaknya kegiatan tersebut, memberikan ketidaknyamanan orang-orang dalam bekerja. Apalagi dengan munculnya unsur-unsur primordialisme kedaerahan.

Banyak versi tentang telah berapa banyak mutasi, rotasi, promosi dan si ... si...lainnya yang telah dilakukan oleh walikota ini. Ada yang mencatat lebing kurang 23 kali. Ada yang menghitung 26 kali (karena ada mutasi yang dilakukan hanya di ruang walikota atau di aula BKD). Tapi sedikitnya, telah terjadi lebih dari 16 kali mutasi selama hampir 2,5 tahun kepemimpinannya sebagai walikota. Berarti, jika di dirata-ratakan, dalam 1,5 bulan terjadi 1 kali pemindahan seorang pegawai dalam jabatan. Nah lho ?

Di banyak SMS yang beredar di kalangan wartawan, yang mempertanyakan alasanwalikota memutasikan pegawainya, ada beberapa alasan kenapa mutasi ini banyak dilakukan. “ ..saya lakukan objektif walau satu dua ada pertimbangan politis .. bentuk pembinaan ...”

Soal siapa yang akan menjabat apa, peran walikota sangat menentukan. Meski, di dalam SMS lain, walikota berkilah, soal siapa menjabat apa adalah urusannya Baperjakat. Yang pasti, dan perlu diingat, negara dan pemeritahan ini berjalan dan dilaksanakan berdasarkan peraturan dan perundangan-undangan. Dan memang itulah yang membedakan pemerintahan dengan gerombolan dan yang membedakan raja dengan walikota.

Asas dalam penyelenggaraan negara yang bersih, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme di antaranya adalah asas kepastian hukum dan tertib penyelenggaraan negara disamping lima asas lainnya. Adalah hal mustahil pemerintahan suatu daerah akan berjalan baik, bila perlakukan terhadap aparatur itu sendiri semena-mena.

Di dalam pembinaan kepegawaian hanya dikenal atas dasar sistem karier dan sistem prestasi kerja. Mencopot jabatan, menurunkan eseloneringg seorang pegawai bukan bentuk pembinaan. Dan pencopotan atau pembebasan seorang PNS dari jabatannya, adalah upaya terakhir dari berbagai upaya penjatuhan hukuman disiplin. Dan sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, pejabat yang berwenang menghukum, wajib memeriksa terlebih dahulu PNS yang disangka melakukan pelanggaran disiplin.

Di dalam struktur kepegawaian, atasan itu pangkatnya memang harus lebih tinggi dari bawahannya. Jangan dibalik. Belum lagi bicara pendidikan, senioritas, dan lain-lain. Jadi, anda suka pada seorang pegawai atau anda tidak suka pada seorang pegawai, tidak bisa seenaknya anda tempatkan atau anda bebaskan dalam jabatannya menurut sesuka hati anda. Walau anda seorang walikota. Sebab walikota fungsinya tidak sebagai raja di zaman dulu kala.

Memang ada upaya lain bagi pegawai yang merasa terzalimi akibat ketidakmengertian seorang walikota dengan aturan pegawai, PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) misalnya, tapi eksekusi putusan PTUN itu tak pernah maksimal.

Juga, dengan terlalu seringnya mutasi dilakukan, dan setiap mutasi selalu saja ada korban, membuat suasana kerja di lingkugan Pemerintah Kota tersebut tidak efektif dan efisien. Jika jalannya Pemerintahan Kota tidak efien dan efektif, yang rugi adalah rakyat yang telah memilihnya. Energi yang seharusnya bisa digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang lebih urgen, jadi sia-sia.

Kepemerintahan yang baik perlu ditopang oleh prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Interaksi sosial politik di antara unsur-unsur adalah sesuatu yang wajar. Bukan ancaman pada kekuasaan. Jika interaksi dianggap sebagai ancaman, reformasi yang melahirkan otonomi daerah, jadi tidak bermakna. Tidak jauh berbeda antara hari ini dengan era orde baru. Ide dan gagasan dianggap sebagai rongrongan terhadap penguasa.

Walikota, bukan raja. Yang bisa mengganggap dirinya sebagai hukum itu. Walikota dipilih rakyat secara langsung. Seharusnya seorang walikota malu ketika ia bertindak bagai raja.

Jadi, agar seorang walikota tak ingin dikatakan sembrono dan bodoh dalam mengelola pemerintahan, perlu belajar dan diberi masukan yang benar soal-soal kepemerintahan.

Pemerintahan tidak bisa dikelola dengan rasa marah dan dendam. Pemerintahan harus dikelola dengan akal jernih dan mau belajar.

Itulah salah satu dilema di era di mana semua orang bisa saja jadi walikota. Dan sanksi terhadap walikota yang jadi raja ini, tidak jelas.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline